Kisah Kelapa Pangandaran yang Sukses Jelajahi Dunia dan Jadi Tumpuan Penduduk Sekitar
Telah menjelajahi belahan dunia lewat ekspor, Kelapa Pangandaran tak lagi bisa dipandang sebelah mata sebagai sebuah komoditas.
TRIBUNNEWS.COM - Ajang Cycling de Jabar 2022 yang merupakan acara bersepeda hasil kerja sama Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar), bank bjb, dan Harian Kompas digelar pada tanggal 27-28 Agustus 2022.
Dengan menempuh jarak 367,5 kilometer, para pesepeda yang ikut serta dalam ajang ini bisa mendapatkan pengalaman melintasi dan menyaksikan kekayaan alam yang terbentang di lima wilayah Jabar Selatan.
Salah satu wilayah tersebut tak lain adalah Pangandaran, yang kini menjadi sentra kelapa di Jabar. Menurut data Dinas Perkebunan Jabar tahun 2022, luas lahan sentra kelapa di Pangandaran mencapai 25.266 hektar atau sekitar 15 persen dari total luas Pangandaran sebesar 168.000 hektar. Dengan lahan yang begitu luas, produksi Kelapa Pangandaran dapat mencapai jumlah 13.148 ton per tahun.
Telah menjelajahi belahan dunia lewat ekspor, Kelapa Pangandaran tak lagi bisa dipandang sebelah mata sebagai sebuah komoditas. Bahkan, tanaman ini sukses mendorong penduduk Pangandaran untuk meraih kesejahteraan.
Kelapa Pangandaran bawa kesejahteraan
Ribuan orang kini menggantungkan hidup mereka pada Kelapa Pangandaran, seperti Helmi (60), yang berprofesi sebagai petani organik. Sudah lebih dari 40 tahun Helmi menjalankan hidupnya bersama buah ini. Bagai sudah ditakdirkan dengan kelapa, ia lolos dari maut karena meraih batang pohon kelapa dan memanjatnya pada saat bencana tsunami tahun 2006 silam.
Hingga saat ini, buah kelapa terus menghidupi keluarganya. Atas dasar itu jugalah Helmi memilih untuk berprofesi sebagai petani organik. Kebun kelapa milik Helmi terletak di samping rumahnya di Parigi, Pangandaran.
Sebagai seorang petani, ia pun cakap dalam menentukan pohon yang tepat untuk dipetik buahnya. “Pohon ini buahnya bagus. Satu tandan lebih dari 10 butir,” ujarnya.
Dalam hal memanjat, sang kakek pun dapat bergerak dengan cepat. Tidak sampai dua menit, tangan kekar Helmi berhasil meraih buah kelapa di atas pohon setinggi 20 meter tersebut. Setelah ia menebas tandan kelapa dengan parang, belasan kelapa pun jatuh ke tanah.
Lewat penggunaan pupuk kandang, pohon kelapa milik Helmi terlihat tumbuh subur. Hasilnya, ia mampu memanen 1.500-3.000 butir kelapa dalam sebulan dari tiga lokasi kebun seluas 3.150 meter persegi.
Pilihan Helmi untuk bertani organik jugalah yang membawanya pada kesempatan untuk bermitra dengan PT Pacific Eastern Coconut Utama (PECU).
Sejak tiga tahun lalu, ia menjadi salah satu dari 1.251 petani mitra produsen produk olahan kelapa, seperti kelapa parut kering, tepung kelapa, santan asli, dan minuman air kelapa dalam kemasan, itu. Kelapa organik di atas seluas 812,42 hektar di Pangandaran itu ditujukan untuk pasar ekspor.
Kemitraan ini memberi kesejahteraan bagi kehidupan Helmi dan keluarganya. Meski pabrik pengolahan berjarak sekitar 8,5 km dari rumahnya, ia cukup membayar sewa mobil sebesar Rp150.000 untuk membawa hasil panennya ke pabrik.
Menurut Helmi, hal tersebut sangat berbeda ketika dahulu ia menjual panen kelapanya ke Jakarta, di mana dengan keuntungan sebesar Rp 2,7-Rp 5,4 juta per bulan, ia perlu membayar ongkos ke Jakarta hingga Rp2 juta.
“Sekarang saya bisa menabung, membangun rumah Rp 75 juta dan membantu biaya pendidikan cucu,” kata dia.
Selain Helmi, kisah sejahtera bersama kelapa ini juga dialami oleh Imas Suryati (41), salah satu dari 750 orang yang bekerja di pabrik PT PECU. Sehari-harinya, Imas bersama 79 pekerja perempuan lain bertugas menyiapkan daging buah yang diterima dari petani seperti Helmi.
Saat ia bekerja, tangannya terlihat begitu cekatan mengupas kulit ari sebutir kelapa di pabrik PT PECU dalam hitungan 15 detik. Mengenakan sarung tangan yang melindungi jempol, jari telunjuk, dan jari tengahnya yang menggenggam pisau, satu demi satu kelapa pun dikupas sebelum ke mesin khusus.
Sebelum bergabung dengan PT PECU, ibu dari dua anak ini bekerja membuat gula kelapa. Usahanya saat itu mengharuskan ia untuk bekerja hingga malam hari, dengan penghasilan sekitar Rp80.000 per hari.
Setelah menjadi salah satu pekerja di pabrik, ia merasakan perubahan dalam hidupnya. Dengan jam kerja yang lebih singkat, ia mampu mengupas 2,5-3 kuintal kelapa dengan bayaran Rp 140.000 per hari.
“Di sini, masuk jam 07.00, pulang 14.00-15.00,” ujar Imas.
Bahagia bersama kelapa juga dirasakan Uun Hunadi (53), pengepul kelapa di Cigugur, Pangandaran. Uun kini mempekerjakan 70 orang di lima gudang yang ditugaskan mengelola 40.000 butir kelapa per hari. Sebanyak 5.000-10.000 butir di antaranya dikirim ke pabrik untuk diekspor.
Dalam mengelola kelapa tersebut, ukuran menjadi hal penting yang perlu diperhitungkan. Ukuran kelapa, menurut Uun, harus bisa digenggam dengan satu tangan seberat sekitar 9 ons. “Ukurannya tidak sembarangan. Kami sangat menjaga kontrol kualitasnya,” kata dia.
Aktivitas pemasok dan pengolahan kelapa milik rakyat ini sangat membantu rantai produksi lebih efisien. General Manager PT PECU Ferry Napoleon memaparkan, pihaknya bekerja sama dengan 40 pemasok kelapa, mulai dari butir kelapa hingga dagingnya untuk diproses kembali di pabrik.
Setiap pemasok, lanjut Ferry, mempekerjakan ratusan warga. Menurutnya, diperkirakan jumlah warga yang ikut dalam rantai pasok ini mencapai lebih dari 750 orang di Pangandaran.
“Kami bisa saja mengganti tenaga kerja dengan mesin. Namun, sudah kewajiban kami berbagi rezeki dengan warga sekitar,” katanya.
Melalui teknologi ultra high temperature (UHT), produk olahan kelapa yang dihasilkan PT PECU telah tersebar ke 37 negara, seperti Malaysia, China, Amerika Serikat, hingga beberapa negara di Eropa. Tak hanya membuat Indonesia bangga, mereka yang melangkah bersama dengan PT PECU pun ikut sejahtera.
Peranan KPMK Pangandaran dorong ekspor produk kelapa
PT PECU tidak sendirian dalam membawa nama Jabar melanglang buana lewat kelapa serta berbagi sejahtera. Koperasi Produsen Mitra Kelapa (KPMK) Pangandaran pun turut berperan dalam hal tersebut sebagai pihak yang mengolah cocopeat dan cocofiber menjadi produk internasional sejak 2016.
Ekspor kedua produk tersebut mencapai 200 ton per bulan senilai Rp 1,5 miliar. Sedikitnya 2.500 petani dan pengepul kelapa terlibat di dalamnya.
Ketua KPMK Yohan Wijaya Noerahmat mengatakan, cocopeat merupakan media tanaman bagi konsumen China, Jepang, dan Korea Selatan. Sedangkan, cocofiber kerap dimanfaatkan menjadi bahan baku furnitur dan jok kendaraan premium hingga jok pesawat komersil.
Menurut Yohan, meski omzet koperasi mencapai Rp8 miliar per bulan, produksinya hanya mampu memenuhi lima persen permintaan. Bahkan bila terus digenjot, ia yakin produksi olahan kelapa dapat memasok kebutuhan konsumen hingga 30 persen, terutama untuk pasar Eropa.
”Eropa punya spesifikasi kualitas yang lebih tinggi. Karena itu, mereka butuh barang dengan kualitas dan jumlah yang stabil. Ini yang sedang saya upayakan dan yakinkan ke masyarakat, kami bisa memenuhinya,” tuturnya.
Tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan Kelapa Pangandaran memiliki arti yang begitu penting bagi berbagai pihak yang turut terlibat dalam produksinya. Layaknya kelapa yang memiliki ratusan produk turunan, mereka pun turut memanjat sejahtera dan menjelajahi dunia.
Dalam rangka mendorong Kelapa Pangandaran untuk terus maju, dukungan peningkatan produksi dari hulu ke hilir pun akan terus disiapkan.Menurut Kepala Dinas Perkebunan Jabar Jafar Ismail, salah satu langkah untuk mendorong peningkatan tersebut adalah lewat peremajaan pohon kelapa.
Tahun ini, terdapat 280 hektar lahan kelapa di Pangandaran yang akan diremajakan. Rata-rata usia peremajaan untuk kelapa berusia di atas 30 tahun. Adapun, panen ideal mencapai 2-3 ton per hektar per tahun.