Kapal Tanker Bermuatan Aspal Karam di Perairan Nias Utara, Nelayan Setempat Tak Bisa Melaut
Tumpahan aspal dari kapal tanker mencapai radius 50 km menyebabkan nelayan Nias Utara tidak dapat melaut dan kehilangan mata pencaharian.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kapal tanker pengangkut aspal karam di Perairan Desa Humene Sihene’asi, Kecamatan Tugala Oyo, Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara, pada 11 Februari 2023 lalu, sekitar pukul 05.00 WIB.
Kandasnya kapal MT A disebabkan oleh kebocoran badan kapal sebelah kanan akibat hantaman ombak dan kondisi kapal yang sudah berkarat.
Hal ini diungkap Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Gakkum KLHK) melalui Tim Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Direktorat Pengaduan Pengawasan dan Sanksi Administrasi LHK, dan Direktorat Penegakan Hukum Pidana LHK, bersama dengan Tim Ahli.
Tim tersebut melakukan verifikasi di lokasi kandasnya kapal tersebut pada 25 Februari 2023 sebagai tindak lanjut dari laporan Bupati Nias Utara kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca juga: Temuan BP2MI, Kapal Karam di Johor Bahru Sering Dipakai Antar Jemput TKI Ilegal
Diketahui, MT A merupakan kapal jenis tanker bermuatan ±1.900 ton aspal/bitumen, berbendera Gabon dan membawa 20 awak kapal berkewarganegaraan India.
Tumpahan aspal di lokasi mencapai radius 50 km hingga Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Nias Utara (Perairan Toyolawa, Lahewa).
Hal ini menyebabkan nelayan setempat tidak dapat melaut dan kehilangan mata pencaharian.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Jasmin Ragil Utomo mengungkapkan kegiatan verifikasi sengketa lingkungan hidup terhadap kandasnya MT A ini merupakan tahapan awal dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan.
Kemudian akan ditindaklanjuti dengan tahap klarifikasi dan tahap-tahap selanjutnya yang meliputi tahap penghitungan kerugian, dan negosiasi dan/atau fasilitasi.
"Kami menilai penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan lebih efektif dalam penyelamatan kerugian lingkungan hidup/masyarakat terdampak karena proses penyelesaiannya memakan waktu relatif lebih cepat dan dengan biaya lebih murah," jelas Ragil dalam keterangannya, Minggu (5/3/2023).
Baca juga: Kepala Disnakertrans NTB Minta 2 Jenazah Korban Kapal Karam di Malaysia Segera Dipulangkan
Kegiatan verifikasi ini dijadwalkan dilakukan sejak tanggal 25 Februari hingga 1 Maret 2023 oleh Tim Verifikasi Sengketa Lingkungan Hidup Gakkum KLHK bersama dengan Ahli Ekotoksikologi, Ahli Valuasi Ekonomi Sumber Daya Pesisir dan Laut, Ahli Terumbu Karang, Ahli Bioekologi Karang, serta Ahli Oseanografi Terapan/Modeling.
Ahli tersebut bersifat independen untuk menilai terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, menentukan bentuk dan besarnya kerugian lingkungan hidup/masyarakat terdampak, serta tindakan pemulihan lingkungan yang harus dilakukan oleh MT A.
KLHK dalam hal ini Ditjen Gakkum, dalam melakukan hak gugat pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, akan menuntut ganti kerugian lingkungan hidup yang didasarkan atas hasil penghitungan dari ahli valuasi, termasuk tindakan pemulihan pesisir laut yang harus dilakukan oleh Pemilik MT A.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.