Pengamat Soroti Jalan Rusak di Lampung: Singgung soal Realisasi APBD hingga Praktik Return Fee
Pengamat soroti kasus jalan rusak di Provinsi Lampung. Mulai masalah realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah hingga praktik return fee.
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menyoroti kasus jalan rusak di Provinsi Lampung.
Setidaknya ada tiga faktor yang menurut Djoko sebagai biang kerok penyebab jalan rusak.
Faktor pertama terkait realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Lampung.
Djoko memaparkan, APBD yang dialokasikan Provinsi Lampung untuk memperbaiki jalan masih minim.
Dari total APBD Provinsi Lampung tahun 2021 sebesar Rp 7,38 triliun, hanya Rp 72 miliar digunakan untuk modal berupa belanja pemeliharaan jalan dan irigasi atau hanya satu persen saja.
"(Padahal) realisasi APBD Lampung masuk peringkat 3 nasional. Serapannya mencapai 95 persen jauh di atas rata-rata daerah yang hanya 87 persen.
APBD Provinsi Lampung tahun 2021 sebesar Rp7,38 triliun. Untuk belanja operasional belanja pegawai sebesar 30 persen atau setara Rp2,14 triliun," beber Djoko dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (6/5/2023).
Baca juga: Pak Jokowi, Jalan Rusak di Pekon Kota Besi Lampung Barat Memprihatinkan Bertahun-tahun Rusak
Djoko kemudian menyoroti faktor kedua perihal return fee yang bisa mempengaruhi konstruksi jalan yang tidak sesuai spesifikasi teknis.
Menurutnya, anggaran sebesar Rp72 miliar tidak semuanya diperuntukan untuk perbaikan jalan.
Djoko mengamini masih ada praktek return fee kisaran 10–15 persen yang sulit untuk dihapus hingga sekarang.
Adanya konsultan pengawas yang tugasnya membantu pemerintah untuk mengawasi pekerjaan yang sedang dikerjakan, kenyataan di lapangan terjadi bersekutu dengan kontraktor untuk memuluskan tagihan.
Konsultan pengawas mendapat honor tambahan dari kontraktor, sudah pasti kerja konsultan tidak sesuai harapan pemilik pekerjaan.
Belum lagi konsultan pengawas tidak membayar gaji optimal ke personal yang mengawasi pekerjaan, karena konsultan pengawas juga memberikan return fee ke pemilik pekerjaan.
"Proyek jalan bisa dikerjakan dengan prosentase 60 persen dari nilai kontrak sudah cukup bagus. Rata-rata kurang dari itu.
Sisanya, 40 persen terbagi untuk membayar pajak, keuntungan kontraktor, kepentingan return fee, biaya operasional non teknis," tegas Djoko.
Berdasarkan masalah di atas, Djoko menyimpulkan praktik return fee proyek pemerintah harus dihapuskan.
Dengan harapan supaya kualitas jalan sesuai spesifikasi teknis yang sudah ditetapkan.
Djoko berpandangan, infrastruktur jalan bukan hal yang biasa, karena untuk membangun ekonomi suatu wilayah diperlukan jaringan jalan dan fasilitas transportasi umum yang semestinya menjadi perhatian utama pemeritah.
Baca juga: Wajah Masam Jokowi Saat Melintasi Jalan Rusak di Lampung, Warga: Maaf ya Pak Jalannya Jelek
"Provinsi Jawa Tengah sudah menerapkan tidak boleh ada return fee untuk setiap pekerjaan yang menggunakan APBD Pemprov. Jawa Tengah. Tentunya hal ini sebaiknya dapat ditiru pemda yang lainnya," imbuhnya.
Djoko selanjutnya membeberkan faktor ketiga penyebab rusaknya jalan karena perihal truk Over Dimensi dan Over Loading (ODOL).
Ia secara tegas meminta aktivitas kendaraan truk ODOL harus segera dihentikan.
Bagi Djoko, perbaikan jalan akan percuma jika truk kelebihan muatan tetap beroperasi.
"Truk ODOL yang bikin jalan cepat rusak dan memboroskan biaya perawatan jalan. Aktivitas truk ODOL merusak aset negara," tegas dia.
Djoko memberikan catatan, perlu kerja sama berbagai pihak untuk mengawasi truk ODOL.
Termasuk peran serta masyarakat yang tidak bisa dianggap remeh.
Masyarakat bisa melaporkan ke Polisi jika masih ada sejumlah mobil barang yang kelebihan dimensi dan muatan beroperasi.
"Disisi lain, polisi punya kewajiban menghentikan kendaraan tersebut, selain mempercepat kerusakan jalan juga rawan terjadinya kecelakaan lalu lintas," kata Djoko.
Baca juga: Jokowi Ganti Jalur dan Prank Gubernur Lampung dalam Peninjauan Jalan Rusak, Ini Penjelasan Istana
Djoko beri catatan
Djoko mengingatkan perkara jalan rusak masyarakatlah yang paling dirugikan. Contohnya seperti di Provinsi Lampung.
Jalan rusak membatasi mobilisasi masyarakat lantaran perjalanannya terganggu.
Belum ditambah terganggunya rute bus perintis moda transportasi masyarakat.
"Akhirnya, masyarakat yang sudah terisolir karena jalan rusak, akan makin kurang sejahtera," kata Djoko.
Pada akhirnya, Djoko meminta penanganan jalan rusak dilakukan oleh pemerintah pusat hingga daerah.
Mengingat tidak semua jalan wewenang pemerintah daerah. Ada juga jalan nasional yang tanggungjawabnya ada di pemerintah daerah.
"(Meskipun demikian) Harapannya dengan adanya alokasi anggaran dari pemerintah pusat untuk membangun atau memperbaiki jalan di daerah dapat mengurangi prosentese jalan rusak di daerah," lanjut Djoko.
Menurut Djoko banyak cara mendapatkan alokasi anggaran untuk perbaikan jalan.
Pemerintah pusat dan daerah bisa sama-sama mengatur ulang komposisi belanja modal harus lebih besar ketimbang biaya operasional.
Fasilitas pejabat banyak yang berlebihan, misalnya biaya perjalanan dinas, mobil dinas lebih dari satu dan harganya mahal.
"Cukup satu mobil dinas untuk setiap kepala daerah. Juga pejabat di bawahnya tidak perlu semua diberikan kendaraan dinas, cukup kendaraan operasional. Dibiasakan ASN menggunakan angkutan umum yang murah hanya untuk ke tempat kerja," tutup Djoko.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)