Kawin Tangkap di Sumba: Dinilai Langgar Hak Perempuan dan Anak, Dianggap Tak Relevan Lagi
Tradisi kawin tangkap di Sumba dianggap sudah tak relevan lagi dan melanggar hak perempuan.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Garudea Prabawati
"Selain itu, ada peranan relasi kuasa dalam kasus-kasus kawin tangkap yang tidak selayaknya dilanggengkan,” ujar Ratna.
KemenPPPA sendiri sudah menyoroti soal kawin tangkap sejak lama lantaran dianggap mengandung unsur kekerasan dan eksploitasi.
Khususnya, pada tradisi kawin tangkap yang tak sesuai adat dan merugikan pihak perempuan, juga anak.
Baca juga: Kronologi Viral Kawin Tangkap di Sumba, Korban Teriak Minta Tolong, Pelaku Akui Ikut Perjodohan
Meski menjadi tradisi turun-temurun, kawin tangkap nyatanya dianggap melanggar hak perempuan dan anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sejak lama menilai tradisi tersebut mengandung unsur kekerasan dan eksploitasi.
Dikutip dari situs resmi KemenPPPA, kawin tangkap pada praktiknya berpotensi melanggar hak perempuan dan anak, menimbulkan kekerasan yang berlapis pada korban, hingga memicu dampak traumatis pada korban.
Terlebih, jika perempuan yang menjadi korban masih berusia anak-anak.
Menindaklanjuti peningkatan perlindungan terhadap perempuan dan anak terkait kawin tangkap, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) bersama Pemprov NTT, Pemda Kabupaten, dan Kapolres se-Sumba, menandatangani Nota Kesepahaman Bersama (Memorandum of Understanding/MOU) Kerja Sama Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak di Kabupaten Sedaratan Sumba, pada Juli 2020.
MOU itu lantas kembali disinggung oleh Ratna Susianawati.
"Untuk itu, kami mohon aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap praktik kawin tangkap."
"Jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak," kata Ratna.
Ratna mengatakan, selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kasus ini dapat dijerat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yaitu Pasal 4 ayat (1) huruf e jo Pasal 10.
Sudah tidak relevan
Antropolog dari Universitas Katolik Weetabula, Pater Doni Kleden, menilai tradisi budaya kawin tangkap sudah tidak relevan lagi sesuai kondisi sekarang.
Pada konteks zaman dahulu, kata Doni, kawin tangkap sah secara adat.