Kawin Tangkap di Sumba: Dinilai Langgar Hak Perempuan dan Anak, Dianggap Tak Relevan Lagi
Tradisi kawin tangkap di Sumba dianggap sudah tak relevan lagi dan melanggar hak perempuan.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Garudea Prabawati
Sebagai contoh untuk masalah ekonomi, biasanya keluarga pihak perempuan berutang pada keluarga laki-laki, sehingga anak perempuan mereka dijadikan tebusan.
Selain itu, menurut Jurnal Qualita berjudul Kawin Tangkap (Studi Sosiologi tentang Makna dan Praktik Kawin Tangkap di Desa Marela Kalada, Kec. Wewewa Timur, Kab. Sumba Barat Daya (2021), kawin tangkap juga dilatarbelakangi alasan kekerabatan.
Biasanya, saat melaksanakan kawin tangkap, ada penggunaan simbol-simbol seperti kuda diikat atau emas yang diletakkan di bawah bantal.
Secara umum, cara melakukan kawin tangkap adalah dengan meminta perempuan pergi ke pasar atau tempat umum lainnya.
Baca juga: Kementerian PPPA Sebut Kasus Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya Masuk Kategori Tindakan Kriminal
Di tempat itu, sudah disiapkan beberapa laki-laki untuk menangkap atau menculik perempuan tersebut.
Lantas, si perempuan dinaikkan ke atas kuda dan dibawa lari ke rumah calon suaminya.
Setelahnya, pihak orang tua laki-laki memberikan satu ekor kuda dan sebuah parang khas Sumba kepada orang tua perempuan sebagai tanda permintaan maaf.
Kuda dan parang itu juga sekaligus menjadi penanda atau memberi informasi, bahwa calon pengantin wanita sudah berada di pihak laki-laki.
Dianggap melanggar hak perempuan dan anak
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menilai kasus kawin tangkap dapat mencederai hak perempuan.
Menurut Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Ratna Susianawati, kawin tangkap sudah seharusnya dihentikan untuk melindungi perempuan dari kekerasan.
“Kasus seperti ini tentu mencederai hak perempuan untuk hidup aman tanpa kekerasan."
"Kasus kawin tangkap terjadi sebagai pergesekan dalam aspek budaya yang sudah sepatutnya kita hentikan bersama demi melindungi para perempuan dari kekerasan seksual berbalut budaya," ujar Ratna melalui keterangan tertulis, Sabtu (9/9/2023).
Kawin tangkap, kata Ratna, merupakan bentuk penculikan dan kekerasan terhadap perempuan.
Dirinya menilai perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal dan bukan bagian dari adat.