Gadis Kretek, Eksisnya SKT dan Kontribusi bagi Perekonomian Nasional
Industri SKT merupakan segmen yang padat modal, padat karya, bisa menyerap banyak tenaga kerja, terutama para perempuan yang bekerja sebagai pelinting
Penulis: Arif Tio Buqi Abdulah
Editor: Drajat Sugiri
Disebutkan pada tahun 1870, lintingan rokok kretek mulai diproduksi berskala rumahan di wilayah Jawa Tengah bagian utara.
"Kretek sudah ada di jaman Kerajaan Mataram Islam. Akhir abad 19 industrinya mulai tumbuh dan mulailah tercatat dalam beberapa naskah. Disitu ada nama Haji Djamhari yang mengawali produksi rumahan rokok kretek di Kudus, lalu disusul Nitisemito membuatnya lebih besar lagi," kata Bedjo Riyanto, Dosen Universitas Sebelah Maret Surakarta saat dihubungi Tribunnews.
"Dulu diproduksi layaknya industri rumahan dengan mengerjakan tenaga kerja yang sebagian besarnya perempuan sebagai buruh linting," imbuh Bedjo Riyanto yang menulis Desertasi 'Gaya Visual Iklan Rokok di Majalah'.
Baca juga: Serikat Pekerja Tembakau Nilai RPP Kesehatan Seharusnya Tak Banyak Larang IHT
Kisah Perempuan Pelinting
Industri SKT merupakan segmen yang padat modal, padat karya, dan menyerap banyak tenaga kerja, terutama para perempuan yang bekerja sebagai pelinting rokok.
Data dari Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), sekitar 97 persen pekerja di industri SKT adalah perempuan. Mereka tidak hanya sekadar pekerja tetapi juga menjadi tulang punggung keluarga.
Kisah tentang perempuan pelinting rokok ini bisa dijumpai saat ini pada Siti Sarwanti (34), warga Banyudono, Boyolali.
Sehari-hari, Siti bekerja sebagai pelinting rokok kretek di Pabrik Rokok PT Hamsina di Kartasura Sukoharjo, mitra PT Gudang Garam Tbk.
Sudah 12 tahun lamanya pekerjaan itu ia jalani, tepatnya etelah menikah pada 2011 silam.
"Sebelumnya di pabrik kertas. Di sana ada aturan shift kerja, jadi pilih keluar biar ngurus keluarga dan rumahnya lebih enak," ujar Siti kepada Tribunnews, Sabtu (2/12/2023).
"Kalau di pabrik rokok itu kan cuma satu shift saja. Sebelum berangkat kerja kan bisa ngurus pekerjaan dapur dulu, sore pun bisa lanjut ngurus rumah lagi. Urusan keluarga dan rumah bisa jalan, bekerja juga jalan," tutur Siti yang kini mempunyai dua anak berusia 11 tahun dan 4 tahun itu.
Suami Siti bekerja di sebuah pabrik distributor minuman kemasan. Meski hanya lulusan SMP, Siti memiliki tekad yang kuat untuk membantu suaminya dalam memenuhi ekonomi keluarga.
"Kalau tidak lembur 7 jam bisa 2450 lintingan. Kalau lembur 9 jam bisa 3350 lintingan. Dari pabrik rokok kretek ini bisa membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Bisa menyekolahkan anak. Ya harapannya pabrik ini bisa eksis terus," ujar Siti.