Awal Tahun 2024, Puluhan Pedagang di Bangkalan Menjerit Karena Jadi Korban Peredaran Uang Palsu
Pedagang di pasar polowijo Desa Jaddih, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan was-was atas maraknya peredaran uang palsu di lingkungan pasar.
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, BANGKALAN – Pedagang di pasar polowijo Desa Jaddih, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan was-was atas maraknya peredaran uang palsu di lingkungan pasar.
Dalam sepekan terakhir, beberapa pedagang kecil di pasar polowijo sudah menjadi korban peredaran uang palsu yang diterima dalam transaksi.
Mereka baru menyadari telah dibayar dengan uang abal-abal dari pecahan Rp 10.000, Rp 50.000 sampai Rp 100.000.
Ketika SURYA mendatangi pasar itu, Kamis (4/1/2024), seorang perempuan terdengar memekik, “Addoooh, pesse palsunah le depak kannak” (Aduh, uang palsunya sudah tiba di sini)."
Keluhan itu dilontarkan Ny Siti ketika baru saja keluar dari pasar.
Sementara petugas Pasar Desa Jaddih, Yanto tampak sibuk menempelkan beberapa lembar kertas putih bertuliskan ‘Waspada !!! Peredaran Uang Palsu’, di depan pintu masuk hingga di sejumlah sudut pasar.
Sampai siang, suasana pasar berangsur sepi karena para pedagang mulai mengemasi barang-barang dagangannya.
Seorang perempuan berusia senja di seberang jalan depan pasar menyita perhatian SURYA. Ia akrab disapa Mbok Ti, penjual buah salak dan rambutan.
Garis-garis keriput yang tergurat waktu di wajah dan kedua telapak tangan Mbok Ti seolah mempertegas, tenaganya sudah tidak mampu mengangkat buah-buahan dalam keranjang-keranjang berukuran besar. Ia dibantu seorang perempuan untuk mengemasi barang dagangannya.
Mirisnya, Mbok Ti diketahui merupakan korban pertama atas peredaran uang palsu pecahan Rp 50.000. Namun ia tampak kesulitan untuk mengingat kapan peristiwa yang menimpanya terjadi.
Mbok Ti hanya duduk sambil mengiris bawang milik penjual gado-gado di belakang lapaknya.
“Olle semingguen jiyah ngara, e sebbit’ (sekitar semingguan mungkin, uang palsu disobek),” ungkap Mbok Ti dalam Bahasa Madura.
Keresahan dan perasaan trauma juga tergambar dari wajah Ibu Maimuna (55), penjual rujak, gado-gado, dan soto.
Ibu dengan empat orang anak itu tampak berhati-hati ketika menerima uang dari pembelian beberapa buah lontong.