Mahasiswa Lempari Sempak ke Arah Kantor Gubernur Jateng Saat Demo, Ini Maksudnya
Massa aksi meluapkan kekecewaannya dengan melempar sempak karena jengah terhadap rezim Jokowi.
Editor: Erik S
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Mahasiswa Semarang melemparkan sempak atau celana dalam saat aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/2/2024) sore.
Demonstrasi tersebut diberi tajuk Jokowi Polah, Demokrasi Bubrah.
Massa aksi meluapkan kekecewaannya dengan melempar sempak karena jengah terhadap rezim Jokowi.
Baca juga: Waspada Serangan Fajar Pemilu 2024, Kenali Bentuk-bentuk Kecurangan Demokrasi
Aksi lempar sempak dilakukan mahasiswa selepas ditemui perwakilan dari DPRD Provinsi Jateng, Budi Tjahyono atau sering disapa Mas BT.
"Iya, kami lakukan lempar sempak karena kecewa terhadap penguasa baik dari tingkat presiden hingga para anggota DPRD yang bercokol bersama oligarki.
Terutama anggota dewan yang menemui kami, ternyata tidak mau membawa aspirasi dan suara mahasiswa," ujar perwakilan mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) Aziz.
Aksi mahasiswa di depan Gubernuran, kata Aziz, bukan hanya bentuk kekecewaan mahasiswa menjelang pemilu 2024.
Lebih dari itu, aksi tersebut merupakan akumulasi kemarahan mahasiswa yang suaranya tak pernah didengar mulai dari aksi #reformasi dikorupsi, #mosi tidak percaya yang menuntut berbagai isu dari pelemahan KPK hingga UU Cipta Kerja.
"Makanya kami aksi hari ini untuk menyampaikan aspirasi terhadap rezim Jokowi bertajuk Jokowi Polah, Demokrasi Bubrah," bebernya.
Aksi yang diikuti ratusan mahasiswa tersebut berasal dari sejumlah kampus di antaranya Undip, Unnes, UIN Walisongo, Upgris, USM, Unissula.
Adapula jaringan masyarakat sipil lainnya seperti dari kaum buruh.
Aziz mengatakan, ada lima tuntutan mahasiswa dalam aksi itu.
Baca juga: Apresiasi Film ‘Dirty Vote’, Todung Mulya Lubis: Jangan Baper, Kriminalisasi Membunuh Demokrasi
Yakni pertama pemakzulan Jokowi yang dinilai telah gagal dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi termasuk dalam penyalahgunaan kekuasaan dan kebijakan yang merugikan rakyat.
Kedua, hentikan represifitas aparat untuk kebebasan berpendapat.