Anggota DPD Dorong BPK Audit Cost Recovery LNG Tangguh, Pupuk Kaltim hingga Dana Otsus
Senator Papua Barat, Dr Filep Wamafma mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk melakukan audit terkait sejumlah hal di tanah Papua
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Senator Papua Barat, Dr Filep Wamafma mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk melakukan audit terkait sejumlah hal di tanah Papua yakni terhadap Cost Recovery LNG Tangguh dan SKK Migas, Pabrik Pupuk Kaltim di Fakfak, dan penggunaan dana Otonomi Khusus (Otsus) berikut peruntukannya di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan masyarakat adat.
Permohonan audit tersebut disampaikan Filep Wamafma selaku Anggota Badan Akuntan Publik (BAP) DPD RI dalam Rapat Kerja (raker) Komite IV DPD dan BAP DPD bersama BPK RI membahas Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2023 atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2023, Rabu (3/7/2024).
Terkait Cost Recovery LNG Tangguh, Filep meminta adanya audit independen dari BPK RI berdasarkan hasil temuan dan advokasi yang dilakukan yang menunjukkan ketimpangan kesejahteraan dialami masyarakat ring I daerah operasional industri tersebut.
Menurut dia masuknya proyek LNG Tangguh sudah semestinya melahirkan investasi yang secara positif menciptakan lapangan kerja strategis, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan terutama meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah investasi tersebut.
Pasalnya, terdapat 7 masyarakat adat disana yaitu Irarutu, Wamesa, Sebyar, Sumuri, Kuri, Soub, dan Moskona. Desa Tanah Merah telah direlokasi total, sedangkan tanah yang dimiliki masyarakat adat Sumuri telah dibebaskan demi LNG Tangguh.
“Jadi dalam kesempatan Raker dengan BPK RI tadi, saya minta perhatian BPK RI untuk melakukan audit atas cost recovery LNG Tangguh. Dari hasil advokasi yang saya lakukan, hasilnya sungguh di luar dugaan, dimana kami temui fakta persoalan air bersih yang berimbas pada kesehatan masyarakat adat, fasilitas kesehatan hingga sarana pendidikan atau sekolah tidak memadai. Kondisi ini memperlihatkan masyarakat adat seperti tamu di tanahnya sendiri, sehingga kata “sejahtera” seolah hanya mimpi bagi anak-anak masyarakat adat,” ujar Filep kepada awak media, Rabu (3/7/2024).
“Dalam fakta kondisi masyarakat yang timpang dan sangat memperihatinkan itu, BP Tangguh justru mengklaim bahwa CSR-nya telah berhasil berdampak signifikan bagi masyarakat adat. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Berdasarkan hasil advokasi kami sejak 2021 hingga 2023, baik dalam publikasi nasional maupun internasional, BP tidak pernah mempublikasikan secara transparan terkait sumber dana CSR BP Tangguh. BP nampak menutupi penjelasan mengenai sumber dana CSR dengan kalimat ‘BP dengan dukungan SKK Migas, atau BP dengan Dukungan Pemerintah’. Frasa ini menutupi informasi sumber dana CSR yang berasal dari cost recovery, yang faktanya mengurangi penerimaan negara dan DBH Migas Daerah,” sambungnya.
Menurut Pimpinan Komite I DPD RI ini, ketidaktransparanan BP mengenai sumber dana CSR BP ini telah membohongi publik seolah dana CSR BP bersumber dari keuntungan BP, yang harusnya dikeluarkan tersendiri dari total keuntungan BP Tangguh dan bukan menggunakan cost recovery.
Oleh sebab itu, ia menduga telah terjadi permainan regulasi yang merugikan daerah dan masyarakat daerah tetapi menguntungkan BP Tangguh, SKK Migas, dan pihak terkait lainnya.
Ia mengingatkan, dalam Pasal 11 ayat (3) UU Migas, disebutkan bahwa kontrak kerja kegiatan hulu baik eksplorasi dan eksploitasi, diantaranya harus memuat ketentuan pokok mengenai pengelolaan lingkungan hidup, pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat. Ketentuan yang sama diatur dalam Pasal 40 ayat (5) yang menyebutkan bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat.
“Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘ikut bertanggung jawab mengembangkan lingkungan masyarakat setempat’ dalam ketentuan ini adalah keikutsertaan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam mengembangkan dan memanfaatkan potensi dan kemampuan masyarakat setempat, antara lain dengan cara mempekerjakan tenaga kerja dalam jumlah dan kualitas tertentu, serta meningkatkan lingkungan hunian masyarakat, agar tercipta keharmonisan antara Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dengan masyarakat sekitarnya,” sebutnya.
“Namun dalam penerapannya, cost recovery yang dimaksud adalah biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil (DBH). Inilah yang membuat perusahaan diuntungkan. Istilah cost recovery oleh perusahaan dimaknai dengan pengganti biaya produksi yakni biaya untuk mengganti belanja eksplorasi, pengembangan lapangan, dan operasi yang dikeluarkan kontrak bagi hasil. Dengan kata lain, dana itu adalah uang yang ‘dipinjamkan’ dan nanti juga dipotong oleh DBH migas yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Sesungguhnya cost recovery ini bermasalah karena negara kerap kali menanggung beban cost recovery yang membengkak, sehingga jatah minyak dan gas menurun drastis, padahal tingginya cost recovey ini sering disebabkan karena inefisiensi perusahaan,” kata Pace Jas Merah itu.
Filep menekankan, hal yang paling dikhawatirkan pada gilirannya, mekanisme ini akan menyebabkan DBH Migas menyusut dan Pemda tidak mendapat apapun, terlebih masyarakat adat.
Artinya, dengan memakai dasar hukum PP Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, cost recovery dipraktikkan untuk menguntungkan perusahaan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.