Aksi Tolak Revisi UU Pilkada di DPRD Jateng Ricuh: Belasan Mahasiswa Dilarikan ke Rumah Sakit
Para mahasiswa dipukul mundur oleh polisi ketika melakukan orasinya di samping dan depan Gedung DPRD Jawa Tengah.
Editor: Erik S
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - 11 mahasiswa luka-luka saat aksi unjuk rasa menentang revisi UU Pilkada di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Jawa Tengah berakhir ricuh, Kamis (22/8/2024).
Para mahasiswa dipukul mundur oleh polisi ketika melakukan orasinya di samping dan depan Gedung DPRD Jawa Tengah.
Polisi menggunakan gas air mata untuk ditembakkan ke arah para mahasiswa selepas terlibat adu dorong sekira pukul 13.00 WIB.
Baca juga: Ray Rangkuti Minta Publik Tidak Lengah: Bisa Jadi Pengesahan RUU Pilkada Dilakukan Tengah Malam
Beberapa mahasiswa tampak terjatuh karena menabrak pembatas jalan di Jalan Pahlawan. Seorang mahasiswi bahkan sampai pingsan.
Dia langsung diangkat teman-temannya, "Dibawa ke kampus Undip," ujar seorang mahasiswa.
Adapula mahasiswa dari UIN Salatiga dibawa ke rumah sakit akibat sesak nafas oleh gas air mata.
"Kami larikan ke RS Roemani Semarang," ujar teman korban.
Data sementara, sebanyak 11 mahasiswa alami luka-luka dari kejadian ini sehingga dibawa ke RS Roemani.
Selepas kejadian tersebut, mahasiswa yang mundur memilih bertahan di Jalan Imam Bardjo, depan kampus Universitas Diponegoro (Undip).
Sejumlah polisi bersepeda motor sempat mencoba merangsek ke lokasi itu. Namun, mahasiswa melakukan perlawanan.
Pantauan di lapangan, polisi masih bertahan di lokasi. Adapun mahasiswa sudah membubarkan diri.
Bentangan spanduk protes aksi di depan gerbang pintu utama DPRD Jateng telah dibersihkan petugas kebersihan, pukul 15.00 WIB.
Baca juga: Merasa Demokrasi Terancam, PDIP Ajak Anak Muda Turun Tangan Demo RUU Pilkada: Tak Ada Jalan Lain
Mahasiswa yang berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Jateng ini merupakan gabungan dari mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Semarang, seperti Undip, Universitas Negeri Semarang, UIN Semarang, dan kampus lainnya.
Demo mahasiswa ini sebagai reaksi penolakan atas upaya DPR mencoba mengakali putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan ambang batas pencalonan calon kepala daerah serta menetapkan usia minimal calon kepala daerah.