Upacara Baritan Kali Progo, Tradisi Kuno Petani Jawa di Yogyakarta
Tradisi baritan serupa upacara wiwitan, saat warga hendak memulai panen padi di sawah. Tradisi ini masih dipertahankan petani di Jawa.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, SLEMAN – Baritan adalah sebuah tradisi kebudayaan kuno petani Jawa, yang masih dipertahankan hingga era modern sekarang ini.
Upacara kebudayaan baritan ini berupa pawai hewan ternak, biaanya sapi atau kerbau, dari desa ke bantaran Sungai Progo untuk dimandikan.
Selanjutnya upacara baritan dilanjutkan kenduri atau kepungan warga di bantaran Sungai, sebagai wujud syukur atas berkah alam yang dilimpahkan Tuhan Yang Maha Esa.
Upacara tradisi baritan ini digelar warga Desa Sejati Desa, Kelurahan Sumberarum, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, DIY, Minggu pagi (1/9/2024).
Pagi-pagi, sejumlah warga menggiring sapi-sapinya dari kandang menuju bantaran Kali Progo yang berjarak tak begitu jauh.
Sapi berwarna cokelat kemerahan itu diikat tali di hidungnya, dan di belakang belasan anak-anak, pemuda, dan orang tua antusias mengiringkannya.
Sesampai di bantaran sungai yang berair, sapi-sapi itu diguyur air, dimandiin hingga tubuhnya bersih. Sesudah itu sapi-sapi ditepikan, warga melanjutkan acara kumpulan di lokasi sama.
Tikar dan karpet dihamparkan sebagai tempat sajen dan makanan yang berlimpah. Lalu mereka berkerumun mengikuti kenduri atau kepuangan, seraya memanjatkan doa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sebelum upacara di bantaran Progo, kegiatan diawali tarian Sedekah Bumi oleh anggota Sanggar Kidung Cokrowolo di pendopo Desa Sejati Desa.
Setelah acara selesai, dilanjutkan arak-arakan sapi plus gunungan ketupat yang kemudian diturunkan ke lokasi acara pamungkas di bantaran sungai setelah ternak dimandikan atau diguyang.
Menjadi istimewa karena acara kebudayaan ini disambung diskusi dan peluncuran buku kisah sejarah berjudul “Perahu Getek Kali Progo” karya pegiat Sejarah budaya Sleman, Dwi Ony Raharjo.
Turut hadir di kegiatan pagi ini Lurah Sumberarum, Camat Moyudan, anggota DPRD Sleman Gustan Ganda, dan Giyo budayawan Sleman.
Menurut penulis buku Perahu Getek Kali Progo, tradisi baritan ini ditinggalkan nenek moyang yang pada masa dulu tinggal dan beraktivitas di sepanjang Kali Progo.
“Baritan ini murni wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah yang melimpah, dan spesialnya untuk memuliakan hewan ternak,” kata Prawirorejo, nama pena aktivis Sejarah yang rajin blusukan ke berbagai situs budaya ini.
Menurutnya yang sudah bertahun-tahun memperhatikan jejak-jejak Sejarah kebudayaan yang terlupakan, baritan tidak ada unsur pemujaan atau sinkretisme yang menyimpang.
Tradisi petani ini serupa dengan upacara wiwitan, saat warga hendak memulai panen padi di sawah. Tradisi wiwitan masih dipertahankan petani di sejumlah wilayah di DIY.
Sementara tentang buku Perahu Getek Kali Progo, Dwi Ony Raharjo menjelaskan, karya itu merupakan hasil penelitiannya secara langsung di sepanjang bantaran Kali Progo selama lebih kurang satu tahun terakhir.
Penulis menemukan jejak arkeologi, berupa jejak candi, arca-arca, ornament bangunan kuno, struktur dan lain-lain di sepanjang bantaran Progo.
“Jadi hal inilah yang menarik untuk didokumentasikna, karena sepanjang Kali Progo terdapat banyak peninggalan arkeologi, mulai dari Gamplong ke utara sampai Planden,” kata Dwi Ony.
Perahu Getek Kali Progo berceriita tentang bagian aktivitas keseharian masyarakat kuno di sepanjang Kali Progo.
Mobilitas orang di wilayah Jawa bagian tengah ini dulu cukup tergantungd penggunaan sarana tradisional.
Setiap desa sepanjang Kali Progo memiliki alat transportasi getek sebelum ada jembatan yang menghubungkan ke dua sisi Sungai besar berhulu di dataran tinggi Dieng ini.
Perahu getek ini gabungan antara penggunaan lesung dan rakit bambu. Dua lesung yang ditautkan atau ditali dengan rakit sehingga jadi jenis tranpsorasti tersendiri.
Secara teknologi pembuatannya sangat sederhana, memanfaatkan bahan alam. Perahu lesung dibuat menggunakan bahan kayu randu yang ringan.
Panjang umumnya 10 meter, lalu dirakit dengan gethek bambu apus yang talinya terbuat dari kulit bambu atau bahan alam lain.
“Ini menarik karena ilmu ini hanya dimiliki warga bantaran Progo. Ini layak jadi hak intelektual komunal,” lanjut Dwi Ony Raharjo.
Selain menjadi bagian upaya pemajuan hak intelektual komunal, penulisan kisah perahu getek Progo ini juga upaya mengingatkan kembali memori kesejarahan kiri kanan Kali Progo.
Upacara tradisi baritan ini diakhiri makan bersama atau kembul bujono apa yang telah disiapkan petani warga Desa Sejati Desa sebagai wujud syukur atas berkah alam.
Sebelumnya, dilakukan penyerahan buku secara simbolis oleh Dwi Ony Raharjo kepada tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka desa yang hadir.
“Ke depan buku ini akan dibagikan ke pedukuhan dan kelurahan sebagai bentuk dokumentasi dan literasi sejarah budaya Kali Progo kepada generasi muda,” kata Prawiroeejo alias Dwi Ony Raharjo.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)