Ipda Rudy Soik Blak-blakan Soal Sanksi Pemecatan Usai Ungkap Mafia BBM, Merasa Ditekan Saat Sidang
Ipda Rudy Soik, anggota Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) blak-blakan soal pemecatan dirinya dari anggota Polri setelah mengungkap kasus BBM ilegal.
Editor: Adi Suhendi
"Saya tidak pernah menyudutkan siapapun. Tetapi sebagai warga negara yang taat hukum, kita ikuti prosesnya artinya ini belum bersifat final,” ujarnya.
Sementara itu, Kabid Humas Polda NTT Kombes Ariasandy mengatakan dalam sidang diputuskan Ipda Rudy Soik melanggar pasal 13 ayat 1, Pasal 14 (1) hrf b Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian Anggota Polri junto pasal 5 ayat (1) huruf b,c dan pasal 10 ayat (1) huruf (a) angka (1) dan hrf d Perpol 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.
“Sidang dilanjutkan pada hari Jumat tgl 11 Oktober 2024 pukul 08.00 Wita dengan agenda pembacaan tuntutan, pembelaan (pledoi). berdasarkan putusan sidang Komisi Kode Etik Polri Nomor: PUT/38/X/2024 tanggal 11 Oktober 2024, menjatuhkan sanksi administrasi berupa PTDH dari dinas Polri,” ujar Ariasandy, Sabtu (12/10/2024).
Dijelaskan Ariasandy, dalam proses pemeriksaan sidangnya, Pendamping (Kuasa Hukum) Ipda Rody Soik menanggapi secara lisan tuntutan penuntut yang pada intinya:
Pertama, meminta maaf kepada institusi Polri atas perbuatan terduga pelanggar karena telah mencoreng nama baik Institusi Polri, dan tindakan terduga pelanggar yang tidak kooperatif, tidak sopan dalam persidangan hingga meninggalkan ruangan persidangan;
Kedua, bahwa selaku pendamping tidak akan mengajukan pembelaan lagi karena terduga pelanggar sendiri tidak kooperatif dalam persidangan, meninggalkan ruang sidang, tidak bersedia mendengarkan penuntutan dan putusan hingga persidangan dilanjutkan tanpa kehadiran terduga pelanggar di persidangan (in absentia);
“Dalam mengambil keputusannya, majelis sidang Komisi Kode Etik mempertimbangkan persangkaan, tuntutan dan tanggapan dari pendamping terduga pelanggar sebagaimana tersebut di atas dan penilaian terhadap seluruh fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan,” jelasnya.
Fakta yang terungkap dalam persidangan berupa keterangan para saksi atas nama Ahmad Anshar, Algajali Munandar, AKP Yohanes Suhardi SSos MH,Ipda Andi Gunawan, Aipda Ardian Kana, Bripka Jemi O Tefbana, Briptu Dewa Alif Ardika, dan Kombes Pol Aldinan RJH Manurung SH SIK MSi pada intinya membenarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Akreditor, baik oleh terduga Pelanggar maupun kuasa hukumnya.
Menurut Ariasandy mereka mengakui bukti dan fakta tersebut, tidak mengajukan bukti atau pembelaan selain meminta maaf dan mengakui adanya perbuatan yang merugikan Institusi Polri.
Saat persidangan sedang berlangsung Ipda Rudy Soik keluar dari ruangan sidang, di saat pembacaan tuntutan dan tidak bersedia mendengarkan tuntutan dan putusan.
“IPDA RS telah melakukan perbuatan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri berupa melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau standar operasional prosedur, ketidakprofesionalan dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan bahan bakar minyak dengan melakukan pemasangan Police Line (garis Polisi) pada drum dan jerigen yang kosong di lokasi milik Ahmad Anshar dan Algajali Munandar beralamat di Kelurahan Alak dan Fatukoa,” kata Ariasandy.
Tempat dilakukan pemasangan Police Line lanjutnya, tidak terdapat barang bukti dan bukan merupakan peristiwa tindak pidana.
Tindakan tersebut tidak didukung dengan administrasi penyidikan.
Hasil sidang tindakan Ipda Rudy telah melanggar Kode Etik Profesi Polri sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1), dan pasal 14 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri dan/atau pasal 5 ayat (1) b, c dan pasal 10 ayat (1) huruf a angka 1, dan huruf d Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.