Anggota Komisi VII DPR Kritik BMKG Soal Analisis Dampak Erupsi Lewotobi Terhadap Penerbangan
Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono mengkritik pernyataan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono mengkritik pernyataan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), yang menyatakan bahwa erupsi Gunung Lewotobi Laki Laki juga berdampak ke wilayah Bali dan Lombok.
“Tidak benar itu, letusan Gunung Lewotobi Laki Laki itu berdampak pada wilayah wisata di Bali dan Lombok. Karena arah angin, itu bergerak dari barat ke timur di akhir tahun. Bali dan Lombok itu kan posisinya ada di sebelah barat Lewotobi, bukan sebelah timurnya. Yang kena dampak itu, yang posisinya di sebelah timur Lewotobi,” kata Bambang Haryo, Jumat (15/11/2024).
“Bahkan, Kupang pun yang berada di sebelah selatan Lewotobi, hanya sedikit terdampak debu Lewotobi, apalagi sebelah barat tidak sama sekali. Buktinya pesawat ke Kupang masih tetap jalan apalagi saya mempunya armada laut ke NTT yang juga mengamati langsung arah angin yang jelas-jelas bergerak dari barat ke timur dan cenderung agak ke tenggara,” imbuhnya
Ia menegaskan BMKG sepatutnya bisa memberikan keterangan yang lebih akurat, dengan adanya sarana dan fasilitas pemantauan yang dimilikinya.
“Nah terbukti kan, bahwa pernyataan mereka salah. Ternyata muncul pemberitaan media kemarin menyatakan tidak ditemukan debu abu vulkanik di Lombok maupun Bali. Kesalahan informasi BMKG ini sangat merugikan masyarakat dan tentu bisa membawa dampak ketakutan masyarakat domestik maupun internasional yang akan berwisata ke Bali dan Lombok."
"Karena ketakutan terhadap ketidak-pastian fasilitas penerbangan yang menghentikan operasionalnya akibat pernyataan BMKG yang cenderung menyesatkan,” ujarnya lagi.
Ketidak-akuratan analisa BMKG ini, lanjutnya, bisa sangat mempengaruhi industri wisata Indonesia, yang sedang didorong untuk meningkatkan jumlah wisatawan agar ekonomi tumbuh sesuai target 8 persen.
Ia menyebutkan sudah menjadi siklus tahunan di wilayah Indonesia, bahwa setiap bulan November hingga Februari, angin akan berhembus dari barat ke timur.
Sementara, dari bulan April hingga September, angin akan berhembus dari timur ke barat.
“Termasuk juga isu megathrust yang digulirkan BMKG di awal tahun. Ini juga bisa menganggu iklim pariwisata Indonesia karena turis domestik dan bahkan turis asing akan takut menuju wilayah pesisir selatan Indonesia karena disebutkan BMKG wilayah tersebut berpotensi terjadi megathrust. Wilayah selatan ada Denpasar Bali dan Yogyakarta serta kota-kota selatan Jawa pasti akan terdampak penurunan jumlah wisatawan. Ini akan sangat merugikan ekonomi Indonesia,” ungkapnya lagi.
Ia menyebutkan, BMKG pernah keliru menganalisa atas gejala alam yang terjadi seperti ramalan cuaca.
“Padahal analisa BMKG ini mempengaruhi banyak sektor, bukan hanya pariwisata. Tapi juga pertanian yang berkaitan dengan masa tanam, nelayan yang berhubungan dengan cuaca juga industri, perdagangan, dan bahkan sangat dibutuhkannya informasi pengaruh cuaca baik angin, hujan bagi dunia transportasi udara, darat maupun laut, kata Bambang Haryo.
Ia menegaskan, BMKG bisa mengutip saja pernyataan dari badan pemantau cuaca milik Singapura Australia atau Amerika.