23 Tahun Otsus Papua, Senator Filep Ungkap Sejumlah Catatan soal Kesejahteraan Hingga Pemenuhan HAM
Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma mencermati perjalanan implementasi kebijakan Otonomi Khusus
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma mencermati perjalanan implementasi kebijakan Otonomi Khusus yang telah berusia 23 tahun di tanah Papua tepat hari ini, 21 November 2024.
Pada dasarnya, menurut dia, kehadiran kebijakan Otsus diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan mendasar di Papua, terutama sebagai bagian penting dari NKRI.
Filep Wamafma mengungkap kilas balik tujuan dan cita-cita lahirnya UU Otsus, utamanya pada Konsideran Menimbang UU Nomor 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus apakah sejalan dengan realitas kehidupan masyarakat OAP hingga hari ini.
Adapun bunyi Konsideran Menimbang itu antara lain: Melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar OAP, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, perlu diberi kepastian hukum; dan tercapai percepatan pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua; dan tercapai penguatan penataan daerah provinsi di wilayah Papua sesuai dengan kebutuhan, perkembangan, dan aspirasi masyarakat Papua.
“Maka mari kita buka data dan kondisi riil di lapangan, persoalan kesejahteraan, pemenuhan dan keadilan HAM hingga masyarakat adat yang sampai saat ini masih terus menyuarakan perjuangan atas kondisi yang dihadapi. Per Maret 2024, semua provinsi di Tanah Papua termasuk dalam provinsi termiskin di Indonesia,” ujar Filep dalam keterangannya, Kamis (21/11/2024).
Ia lantas memaparkan secara rinci dimulai dari Papua Pegunungan dengan persentase penduduk miskin 32,97 persen, jumlah penduduk miskin 365.430 orang, garis kemiskinan per kapita Rp 1.007.060 per bulan, garis kemiskinan per rumah tangga Rp 4.743.253 per bulan.
Papua Tengah dengan persentase penduduk miskin 29,76 persen, jumlah penduduk miskin 308.480 orang, garis kemiskinan per kapita Rp 764.115 per bulan, garis kemiskinan per rumah tangga Rp 3.461.441 per bulan.
Papua Barat dengan persentase penduduk miskin 21,66 persen dan jumlah penduduk miskin 110.160 orang, Papua Barat Daya dengan persentase penduduk miskin: 18,13 persen Jumlah penduduk miskin: 102.270 orang, Papua Selatan dengan persentase penduduk miskin 17,44 persen jumlah penduduk miskin: 92.200 orang dan Papua dengan persentase penduduk miskin 17,26 persen, jumlah penduduk miskin: 152.910 orang. Menurutnya, tingkat kemiskinan ini pun berpengaruh langsung pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dimana Provinsi Papua Pegunungan memiliki IPM terendah se-Indonesia.
“Di sisi lain, di bidang HAM, sepanjang 2023 ada 113 kasus HAM di Tanah Papua yang belum selesai. Di bidang pendidikan, provinsi-provinsi di Tanah Papua mendominasi minimnya jumlah guru. Papua Pegunungan tercatat hanya memiliki 7,1 ribu guru, Papua Selatan menyusul dengan 8,4 ribu guru, diikuti oleh Papua Barat Daya 10 ribu guru, Papua Tengah 10,1 ribu guru, dan Papua Barat 10,4 ribu guru,” sebutnya.
Kemudian, lanjut Pace Jas Merah itu, di bidang kesehatan, provinsi-provinsi di Tanah Papua mendominasi minimnya tenaga dokter, yaitu Papua Pegunungan 235 orang, Papua Selatan 308 orang, Papua Barat Daya 385 orang, Papua Tengah 412 orang, dan Papua Barat 432 orang. Tenaga perawat pun sama, dimana provinsi-provinsi di Tanah Papua mendominasi minimnya tenaga keperawatan yaitu Papua Tengah 1.155 perawat, Papua Pegunungan 1.639 perawat, Papua 1.755 perawat, Papua Barat 2.795 perawat, dan Papua Selatan 3.118 perawat.
“Tak hanya itu, lalu bagaimana dengan penguatan masyarakat adat? Nasibnya tidak jauh berbeda. Terbaru pada November 2024 ini, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi masyarakat adat Awyu dalam upaya mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan,” katanya.
Kemudian, persoalan regulasi, KLHK menyebutkan wilayah yang berpotensi sebagai hutan adat di Papua ada 3,732 juta hektar, yang terdiri dari hutan konservasi (HK) 22,51 persen, hutan lindung (HL) 32,49%, hutan produksi (HP) 41,86%, areal penggunaan lain (APL)/ tubuh air 3,14%, yang semuanya tersebar di Kabupaten Kaimana, Maybrat, Kabupaten/Kota Sorong, Tambrau, Teluk Bintuni, Asmat, Jayapura, dan Mimika.
“Namun wilayah-wilayah ini terindikasi tumpang tindih dengan 7 Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), yaitu PT Asco Prima Nusantara, PT Bangun Kayu Irian, PT Damai Setiatama Timber, PT Nusantara Sago Prima, PT Papua Satya Kencana, PT Rimbakayu Arthamas, dan PT Hanurata Unit Jayapura. Jika tidak diselamatkan, akan jadi apa generasi Papua di masa depan? Maka pertanyaan mendasarnya, siapa yang diuntungkan dari Otsus Papua?” sambung Filep.
“Sebagai wakil daerah kami berupaya maksimal agar UU Otsus Perubahan betul-betul berdampak baik pada pemenuhan hak dasar OAP. Hasilnya secara normatif sudah mulai terlihat yaitu pemekaran DOB di Tanah Papua, perluasan peran OAP dalam keanggotaan DPRP dan DPRK jalur pengangkatan dengan afirmasi 30 persen dari unsur perempuan, peningkatan Dana Otsus dari dua persen Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional menjadi 2,25 persen, di mana aspek pendidikan, kesehatan, dan penguatan masyarakat adat diberikan peningkatan dana termasuk dana dari DBH Migas, usaha-usaha perekonomian di Papua wajib mengutamakan OAP, dibentuknya Badan Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3) yang diketuai langsung Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri Bappenas, dan Menteri Keuangan, serta masing-masing perwakilan dari setiap provinsi yang ada di Papua dan berkantor di ibu kota provinsi setempat, dan dihasilkannya PP Nomor 106 Tahun 2021 dan PP Nomor 107 Tahun 2021,” urainya.
Senator yang kini menjabat sebagai Ketua Komite III DPD RI itu lantas mengajak semua stakeholder terkait terus sinergis dan kolaboratif dalam mengawal implementasi Otsus di daerah.
Ia pun merekomendasikan sejumlah langkah konkret dan strategis yang perlu dijalankan secara harmonis dan mempertegas keberpihakan terhadap OAP.
“Tidak mudah mengurai persoalan Otsus ini. Yang jelas, poin pertama dan utama adalah sinkronisasi kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam hal regulasi, prioritas pembangunan, dan pengawasan. Dalam hal regulasi, Pemerintah Pusat harus mendorong lahirnya Perdasi dan Perdasus yang pro pada afirmasi OAP. Dorongan ini tidak perlu diikuti dengan sikap paranoid terhadap kemerdekaan Papua. Afirmasi OAP itu sejalan dengan roh Otsus itu sendiri. Sementara itu Pemerintah Daerah, Provinsi maupun Kabupaten/Kota, harus berani membuat Perdasi/Perdasus yang mengangkat derajat OAP,” tegasnya.
Baca juga: Filep Wamafma S.H., M.Hum.
“Dalam hal prioritas pembangunan, Pemerintah Pusat harus memberikan kewenangan yang luas termasuk diskresi bagi Gubernur dan Bupati/Walikota di Tanah Papua, agar mengedepankan pembangunan berbasis pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat adat. Kewenangan luas termasuk kewenangan khusus ini seringkali dibatasi oleh berbagai PSN yang membuat kepala daerah tidak mampu mewujudnyatakan visi-misi pembangunan daerah. Fakta membuktikan bahwa Dana Otsus sangat banyak diperuntukkan bagi belanja pegawai dan infrastruktur, sehingga substansi pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat adat hanya sebatas utopia. Sementara itu dalam hal pengawasan, pola pengawasan harus dibuat secara terstruktur mulai dari tingkat paling bawah dengan meminimalisir prosedur yang berbelit-belit. Seringkali kewenangan pengawasan ini tumpang tindih antara kementerian dan lembaga sehingga pemerintah menjadi tidak fokus pada penanganan persoalan di Papua. Pengawasan ini sangat penting karena bisa meminimalisir penyalahgunaan Dana Otsus,” pungkasnya.