Polemik Pembebasan Baasyir dengan Syarat Akui Pancasila dan Tanggapan Sejumlah Pihak
Rencana pembebasan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir menjadi polemik yang mendapat banyak tanggapan dari sejumlah pihak.
Penulis: Fitriana Andriyani
Editor: Fathul Amanah
TRIBUNNEWS.COM - Rencana pembebasan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir menjadi polemik yang mendapat banyak tanggapan dari sejumlah pihak.
Presiden Joko Widodo sebut pembebasan Abu Bakar Baasyir adalah pembebasan bersyarat.
"Kita juga punya mekanisme hukum. Ada sistem hukum yang harus kita lalui, ini namanya pembebasan bersyarat, bukannya bebas murni.
Syaratnya harus dipenuhi," ujar Presiden di Pelataran Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/1/2019) mengutip Kompas.com.
Syarat yang diberikan kepada Abu Bakar Baasyir adalah setia pada NKRI dan Pancasila.
Apabila Abu Bakar Baasyir tidak mau memenuhi syarat tersebut, tentu saja ia tidak akan dibebaskan.
"Kalau enggak (dipenuhi), kan enggak mungkin juga saya nabrak (hukum). Contoh, (syarat) soal setia pada NKRI, pada Pancasila, itu basic sekali, sangat prinsip sekali," tutur Jokowi.
Baca: Jusuf Kalla Sebut Pembebasan Baasyir Harus Dikaji Betul Agar Tidak Ada Gugatan
Namun, Baasyir tidak bersedia menandatangani sejumlah dokumen pembebasan bersyarat yang diberikan untuknya.
Atas tindakan itu, pihak kuasa hukum Baasyir, Muhammad Mahendratta memberi klarifikasi.
"Mengenai ustadz tidak mau menandatangani kesetiaan terhadap Pancasila, itu perlu saya jelaskan, yang ustaz tidak mau tanda tangan itu satu ikatan dokumen macam-macam," ujarnya di Kantor Law Office of Mahendratta, Jakarta Selatan Senin (21/1/2019) dari sumber yang sama.
Mahendratta menjelaskan satu dia antara dokumen tersebut adalah janji untuk tidak melakukan kembali tindak pidana yang pernah dilakukan.
Tindak pidana yang dimaksudkan adalah secara sah dan meyakinkan menggerakkan orang lain dalam penggunaan dana untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Atas tindak pidana itulah Baasyir divonis 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak 2011.
Mahendratta mnegatakan Baasyir tidak merasa melakukan tindakan itu, sehingga ia tidak mau menandatangani perjanjian tersebut.
Baca: Update Rencana Pembebasan Abu Bakar Baasyir, Pernyataan Jokowi Terbaru hingga Respons Keluarga
Bersedia menandatangani perjanjian tersebut berarti Baasyir mengakui bahwa ia melakukan tindak pidana yang membuatnya dihukum itu.
Mengenai ketidaksediaan Baasyir menandatangani perjanjian itu, sejumlah pihak memberikan tanggapannya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan hal itu dapat membuat pemerintah mendapat kesulitan.
Menurutnya, itu merupakan syarat umum yang harus dipenuhi narapidana jika dibebaskan secara bersyarat atau diberikan grasi.
"Kalau tidak memenuhi aspek-aspek hukum tentu yang minimal itu agak sulit juga, nanti kemudian hari orang gugat," kata Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Baca: Politikus PDIP Nilai Wajar Protes Australia Terkait Rencana Pembebasan Abu Bakar Baasyir
Ia mengatakan, pemerintah memang berencana membebaskan Baasyir dengan alasan kemanusiaan.
Hanya, rencana tersebut juga harus didukung dengan terpenuhinya persyaratan umum seperti setia pada Pancasila.
Karena itu, Kalla mengatakan saat ini pemerintah tengah mengkaji aspek hukum hingga persyaratannya.
Ia menambahkan, pemerintah tidak mungkin mengeluarkan aturan khusus untuk satu orang.
Maka dari itu, Baasyir harus memenuhi persyaratan dari pembebasan bersyarat.
"Tentu tidak mungkin satu orang kemudian dibikinkan peraturan untuk satu orang, tidak bisa lah. Harus bersifat umum peraturan itu," lanjut Kalla.
Menteri pertahanan Ryamizard Ryacudu menegaskan Baasyir harus mengakui Pancasila jika ingin dibebaskan.
"Iya dong (harus mengakui Pancasila). Kalau tidak numpang saja. Kalau lama bisa diusir," ujarnya, mengutip Antara via Kompas.com, Selasa (22/1/2019).
Baca: Soal Pembebasan Abu Bakar Baasyir, Pengamat Terorisme Soroti Jebakan Politik, Ini Kata Pakar Hukum
Ryamizard berharap Baasyir bisa menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Menurut Ryamizard, tidak mungkin seorang warga negara Indonesia (WNI) seperti Ba'asyir bisa hidup di negara ini jika tidak mengakui Pancasila.
"Kalau tidak akui Pancasila, namanya numpang. Kalau numpang itu sebentar saja. Jangan lama-lama. Rugi negara kalau terlalu lama," tuturnya.
Pertimbangan mengenai syarat pembebasan Baasyir tentang kesetiaan kepada Pancasila ini pertama kali diminculkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.
"Presiden tidak grusa-grusu, serta-merta, tapi perlu mempertimbangkan aspek lainnya. Karena itu, Presiden memerintahkan pejabat terkait melakukan kajian mendalam dan komprehensif merespons permintaan itu," tuturnya.
(Tribunnews.com/Fitriana Andriyani)