Buzzer Hoaks Pilpres Dibayar hingga Rp 100 Juta, Ini Cara Kerjanya dan Simak Ciri-ciri Berita Hoaks
Buzzer Hoaks Pilpres Bergaji Rp 100 Juta, Ini Cara Kerjanya Hinga Ciri-ciri Berita Hoaks, Simak Ulasan Lengkapnya Berikut Ini
Penulis: Umar Agus W
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
Buzzer Hoaks Pilpres Bergaji Rp 100 Juta, Ini Cara Kerjanya Hinga Ciri-ciri Berita Hoaks
TRIBUNNEWS - Menjelang pemilu pada Bulan April 2019 mendatang banyak sekali hoaks-hoaks yang berkembang di masyarakat.
Penyebaran hoaks tersebut tentu tak lepas dari mereka yang bekerja sebagai Buzzer.
Buzzer pada umumnya mulai bekerja di media sosial.
Mereka banyak menebar isu, berita bohong, hingga cenderung menjelek-jelekan satu paslon capres 2019 lawan.
Hal ini bertujuan untuk mengubah pandangan hingga mempengaruhi masyarakat terhadap calon presiden tersebut.
Baca: Munajat 212, Fadli Zon: Tidak Ada Ajakan Kampanye, Semua Masih Dalam Koridor
Agar calon presiden lainnya berhasil memenangkan pemilu 2019 nanti.
Jika Mengutip dari Tribunnews.com, bahkan gaji seorang Buzzer profesional bisa menembus angka Rp 100 Juta Rupiah.
"Dapat uang masing-masing Rp 100 juta minimal untuk bos-bosnya,"
"Bisa lebih. Mereka proyekan sampai pilpres selesai," ungkap Andi, seorang buzzer profesional yang mendapat order pada pilpres 2019 saat ditemui Tribun Network di kawasan Bekasi, Jawa Barat, pertengahan Februari 2019.
Hal terpenting bagi mereka adalah berita-berita tersebut bisa menjadikan polemik di tengah pilpres.
Mereka membuat berbagai macam fake account hingga fake news dan membuat berita-berita dengan kata kunci yang membuat trending.
Soal kebenaran informasi tersebut mereka juga tidak peduli.
Andi juga menambahkan soal hoaks atau bukan mereka tak peduli yang penting sudah bekerja sesuai dengan orderan.
Baca: Soal Unicorn, Fahri Hamzah: saat Kecil Diinisiasi Rakyat, ketika Besar Ditelan Raksasa Kapitalis
mengutip dari sumber yang sama sistem pembayaran dan besarnya upah buzzer diklasifikasi berdasarkan tingkatan.
Setingkat supervisor akan dibayar Rp 7 juta per bulan, disertai fasilitas kos atau kontrakan serta uang pulsa.
Kemudian, buzzer yang berada di tingkatan mandor dibayar Rp 3 juta per bulan.
"Untuk kasta terendah itu Rp 300 ribu."
"Kalau untuk customize, per hari Rp 100 ribu. "
"Orang-orang ini dibayar karena rajin online."
"Tugasnya hanya untuk menyebar konten," tambah Andi.
Baca: Dijenguk Jokowi, Ani Yudhoyono Dilarang Minum Air yang 2 Jam Terbuka, Annisa Pohan Cari Air Zam Zam
Andi masuk buzzer sejak tahun 2011 untuk misi mengawal calon gubernur pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012.
Andi turun menjadi Buzzer pada Pilgub DKI tahun 2017 hingga Pilpres 2019 ini.
menurut Andi selama ini ada 4 Buzzer yang setingkat bos yang sudha ia ketahui.
Ketika diminta menyebutkan nama Andi pun hanya menjawab dengan inisial.
Keempat orang tersebut adalah, berinisial, YP, W, NS dan P.
Baca: Para Buzzer Sebar Cuitan Twitter via Facebook dan Instagram, Tak Peduli Berita Benar atau Hoaks
Mereka memiliki ribuan pengikut di akun media sosial utamanya yakni di Twitter dan Facebook.
"Ada yang ahli IT, ada yang orang partai juga, ada yang memang didikan Buzzer salah satu partai politik," ujar Andit.
Terkait Pilpres dan Pileg 2019, Andi menuturkan, pemain buzzer umumnya melanjutkan pekerjaan sejak Pilgub DKI Jakarta tujuh tahun silam.
"Semuanya orang lama dari Pilkada Jakarta 2012. "
"Sekarang, mereka ikut lagi dengan mendukung pasangan yang berbeda-beda," ucap Andi,
Mengutip dari Warta Kota, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, membeberkan beberapa ciri berita bohong yang biasa disebut hoax.
Hal itu dikemukakan Ketua Dewan Pers periode 2016-2019 itu saat tampil sebagai pemateri dalam kegiatan Literasi Media sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat di Ternate, Maluku Utara, pertengahan pekan ini.
Stanley, demikian Yosep Adi Prasetyo disapa, menyebut ciri pertama hoax adalah begiru disebar ia dapat mengakibatkan kecemasan, permusuhan dan kebencian pada diri masyarakat yang terpapar.
"Masyarakat yang terpapar hoax biasanya akan terpancing perdebatan. Jika sudah berdebat, mereka akan saling benci dan bermusuhan," ungkap Stanley.
Ciri kedua hoax, lanjut Stanley, adalah ketidakjelasan sumber beritanya.
"Jika diperhatikan, hoax di media sosial biasanya berasal dari pemberitaan yang tidak atau sulit terverifikasi," ujar Stanley.
Ciri ketiga, menurut Stanley, isi pemberitaan tidak berimbang dan cenderung menyudutkan pihak tertentu.
Ciri keempat, menurut Stanley, sering bermuatan fanatisme atas nama ideologi.
(Tribunnews.com/ Umar Agus W)