Polemik Gerakan Indonesia Tanpa Feminis, Ini Tanggapan Influencer, Para Perempuan, hingga Aktivis
Belakangan, media sosial digegerkan dengan akun Instagram bernama Indonesia Tanpa Feminis. Ini pendapat influencer, para perempuan hingga aktivis.
Penulis: Fitriana Andriyani
Editor: Sri Juliati
"Justru saya makin yakin, mas-mbaknya aja yang nggak pede sama ajaran Islam, terus akhirnya berdalih kalau ajaran di luar Islam (barat-sekuler) bagus juga kok.
Generasi buih lautan," tulis akun @indonesiatanpafeminis menilai Gitasav dan Paul.
Baca: Ketahui Penculikan Aktivis 98, Eggy Sudjana Pertanyakan Mengapa Jokowi Tak Hukum Agum
Beberapa perempuan di Jakarta turut dimintai pendapat oleh The Jakarta Post terkait adanya gerakan Indonesia tanpa feminis tersebut.
Frisanty Marisa, seorang karyawan swasta berusia 24 tahun di Jakarta mengatakan, dia merasa tidak nyaman dengan kehadiran kelompok antifeminis di media sosial.
“Mereka memiliki pandangan yang salah tentang feminisme. Mereka puas dengan ketidakadilan yang dilakukan terhadap perempuan, ”katanya.
Rizqika Arrum, seorang sukarelawan berusia 23 tahun di sebuah organisasi nonpemerintah di Jakarta, berbagi pendapat dan mengatakan, gerakan itu tidak akan ada tanpa feminisme sejak awal.
"Fakta bahwa para antifeminis yang memproklamirkan diri ini mampu berkumpul dan menyuarakan aspirasi mereka berarti mereka menikmati keistimewaan yang dihasilkan dari puluhan tahun kemajuan dalam feminisme," katanya kepada The Jakarta Post.
Baca: Greta Thunberg: Remaja Swedia, Aktivis Iklim, dan Pemenang Nobel?
Wacana antifeminis telah mendapatkan daya tarik dalam beberapa bulan terakhir, terutama setelah kontroversi seputar RUU tentang kekerasan seksual.
RUU tersebut, yang telah dibahas oleh DPR sejak 2016, memicu kegemparan ketika mendapatkan momentum di akhir tahun lalu ketika kasus Baiq Nuril - korban pelecehan seksual di Nusa Tenggara Barat yang dihukum karena mencemarkan nama baik pelecehan yang diduga sebagai pelecehannya - terungkap.
Mereka yang menentang RUU itu menganggapnya sebagai pro-perzinaan dan mendukung orang-orang lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).
Seorang aktivis dan direktur program dari Kelompok Dukungan dan Pusat Sumber Daya untuk Studi Seksualitas di Universitas Indonesia (UI), Nadya Melati, menganggap Indonesia Tanpa Feminis sebagai gerakan pinggiran yang hanya berdampak kecil terhadap kemajuan negara menuju pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.
"Keragaman pemikiran adalah gejala dari demokrasi yang sehat. Selama kita fokus pada memperkuat wacana feminis kita dan menolak untuk memberi mereka sebuah landasan, saya tidak berpikir mereka akan menjadi banyak masalah," kata Nadya kepada The Jakarta Post.
Baca: Feminis Alice Schwarzer: Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Terjadi
Dia menyamakan kelompok itu dengan gerakan Indonesia Tanpa Pacaran (Indonesia Tanpa Kencan), yang katanya juga menggunakan topeng Islam untuk menegakkan gagasan absolutisme moral.
"Mereka menggunakan dalih agama sebagai senjata politik. Pada kenyataannya, banyak wanita muslim mendukung feminisme," katanya.