Banyak Mudharatnya, Pengamat Telekomunikasi: Roaming Nasional Tak Perlu Diterapkan
Pemberlakuan roaming nasional dinilai akan membuat operator seluler makin malas membangun jaringannya.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat telekomunikasi dari STIE ITB Dr.Ir. Mohammad Ridwan Effendi, MA.Sc., meminta agar Kominfo tidak lagi memberikan izin untuk roaming nasional bagi operator pemilik izin jaringan bergerak selular.
Ridwan yang juga Ketua Laboratorium Telekomunikasi Radio dan Gelombang Mikro STEI ITB berpendapat, jika Kominfo masih mengizinkan operator selular melakukan roaming nasional nasional, maka akan banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.
Dampak negatif yang langsung terlihat adalah operator akan semakin malas membangun jaringannya. Padahal mereka memiliki lisensi penyelenggaraan jaringan bergerak selular nasional.
Sehingga menurut Ridwan tidak pantas jika operator pemegang izin penyelenggaraan nasional meminta izin roaming nasional ke Kominfo.
Seharusnya operator yang memegang izin penyelenggaraan jaringan bergerak selular nasional dapat membangun jaringan telekomunikasi dari Sabang hingga Marauke.
Baca juga: Samsung: Indonesia Pasar Besar untuk Teknologi Smartphone 5G
"Saat ini operator selular yang beroperasi di Indonesia sudah memegang izin nasional. Ketika operator selular memegang izin nasional tugas dan kewajibannya dia adalah membangun jaringan telekomunikasi," ujarnya.
Baca juga: Ini Alasan Samsung Menyematkan Teknologi IP67 pada Galaxy A72 dan A52
Jika Kominfo mengizinkan roaming nasional maka operator yang selama ini sudah malas untuk membangun serta tak memenuhi komitment pembangunan akan dipastikan semakin malas untuk membangun," ungkap Ridwan.
Baca juga: Cuitan Elon Musk di Twitter Juga Dijual, Harganya Rp 15 Miliar, Apa Keunikannya?
Selain akan membuat operator semakin malas membangun, Ridwan menilai jika Kominfo memberikan izin roming nasional maka akan membuat iklim persaingan usaha tidak sehat.
Misalnya, potensi terjadi kesepakatan harga atau persekongkolan menetapkan harga dan layanan telekomunikasi di pasar yang sama (relevant market) yang saling subtitusi.
Hal ini dinilainya bertentangan semangat Pemerintah yang ingin menciptakan persaingan usaha yang sehat di sektor telekomunikasi.
Mudarat lainnya adalah nantinya di beberapa daerah akan hanya ada satu penyedia jaringan selular saja. Keberadaan hanya satu operator telekomunikasi di suatu daerah juga dinilai Ridwan tidak baik bagi ketahanan jaringan.
"Indonesia itu rawan bencana. Coba bayangkan jika di satu daerah hanya terdapat satu operator saja dan terjadi ganguan jaringan yang diakibatkan oleh kendala teknis atau bencana alam maka tak ada back up jaringan," kata dia.
"Maka yang akan dirugikan tentunya adalah masyarakat di daerah tersebut. Idealnya di satu daerah harus ada lebih dari satu operator telekomunikasi," terang Ridwan.
Operator seluler saat ini tengah menunggu Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Postelsiar yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Salah satu yang dinanti di RPM tersebut adalah pengaturan roaming nasional.
Ridwan menyatakan, di awal 1984 ketika industri seluler mulai menggeliat di Indonesia, Pemerintah pernah memberikan izin roaming nasional. Ini disebabkan lisensi yang dimiliki oleh operator pada saat ini masih bersifat regional.
Sehingga operator yang tidak memiliki hak dan tidak memiliki komitment membangun di wilayah tertentu dapat melakukan kerja sama dengan operator yang memiliki jaringan dan membangun di wilayah tersebut.
Di 1994, Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (Memparpostel) menerbitkan izin nasional bagi operator jaringan bergerak selular.
Memparpostel pada saat itu masih memberlakukan roaming nasional. Namun diberlakukan dengan batas waktu tertentu hingga jaringan operator yang melakukan roaming itu tersedia.