Pantai Pameungpeuk, Garut, Saat Masih 'Perawan' di Tahun 1920-an, Menurut Museum Tropen
Pesona pantai-pantai Pameungpeuk, Garut, saat masih 'perawan' di tahun 1920-an, terekam di situs Museum Tropen, Belanda.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Kabupaten Pameungpeuk di selatan Garut, Jawa Barat, memesona sebagai primadona vakansi tuan dan nyonya Belanda.
Jejaknya antara lain bisa dilihat dari foto-foto tua tahun 1920-an di situs Museum Tropen, Belanda. Bagi penduduk lokal, keindahan gunung dan laut di Pameungpeuk itu kini banyak yang tinggal kenangan.
Thilly Weissenborn (1889-1964) adalah perempuan fotografer pertama di Hindia Belanda yang jatuh hati sekaligus mendokumentasikan keindahan Indonesia masa lampau.
Karya perempuan asal Jerman yang lahir di Jawa Timur, menetap di Belanda, dan 20 tahun tinggal di Garut ini antara lain foto pantai di Pameungpeuk, foto interaksi warga lokal dengan pihak kolonial Belanda, hingga indahnya kelokan tajam perbukitan dari kota Garut menuju Pameungpeuk.
Dalam foto karya Thilly antara lain terlihat turis Belanda ditemani penduduk lokal sedang tertawa sembari duduk santai di pasir Teluk Cilauteureun, Pameungpeuk. Kini, hanya warga lokal yang menyebut pantai tersebut sebagai Pantai Cilauteureun, wisatawan justru mengenalnya dengan nama Pantai Santolo.
Jepretan Thilly memperlihatkan pula jembatan rel lori besi di pantai ini sebagai sarana pengangkutan hasil perkebunan, seperti teh dan karet.
Kehadiran jembatan lori dan bangunan bekas dermaga masih melekat dalam ingatan penduduk lokal, tetapi kini wujudnya telah menghilang. T Bachtiar (56), dosen di Uninus Bandung, Jawa Barat, yang lahir dan besar di Pameungpeuk masih merekam kehadiran pelabuhan alami hingga jembatan lori di Cilauteureun ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
Seperti terekam dalam kamera Thilly, pantai-pantai di Pameungpeuk, dalam kenangan Bachtiar, merupakan pantai perawan yang unik.
Keunikan pantai Pameungpeuk itulah yang membuat Bachtiar selalu rindu pulang kampung. Dulu, di Pantai Cilauteureun terdapat air terjun laut. Hingga Bachtiar duduk di bangku SMA, air terjun laut sepanjang 30 meter dengan tinggi 1 meter itu masih bisa dijumpai. Air terjun laut terbentuk karena aliran air sungai di muara Sungai Cilauteureun seperti tiba-tiba berhenti mengalir karena terhalang air laut yang lebih tinggi dari permukaan sungai.
Dari fenomena air laut yang terjun ke muara sungai inilah, Cilauteureun memperoleh namanya yang bermakna air yang berhenti mengalir. Sayangnya, air terjun laut ini pun tergerus pembangunan. Dengan alasan meratakan pantai agar nelayan bisa mudah mendarat pada musim kering, air terjun laut dimusnahkan untuk pembuatan kanal. ”Setelah air terjun laut hilang, nelayan tetap sulit mendaratkan perahu. Inilah kekeliruan pembangunan,” kata Bachtiar.
Gumuk pasir
Kekeliruan pembangunan lain yang justru menghancurkan keelokan pantai bisa dijumpai di Pantai Sayang Heulang yang terletak bersebelahan dengan Pantai Cilauteureun. Jika Pantai Cilauteureun memesona mata dengan hamparan pasir putihnya yang luas, Pantai Sayang Heulang unik dengan hamparan pantai berkarang sepanjang lebih dari 100 meter. Akibatnya, ombak pecah jauh sebelum mencapai pasir pantai.
Dulunya, Pantai Sayang Heulang juga memiliki gumuk pasir. Lagi-lagi, sayangnya, gumuk pasir sepanjang 3 kilometer di pantai ini diratakan demi alasan pembangunan pariwisata pada tahun 1980-an. Hanya tersisa sebagian gumuk di bagian timur pantai. Gumuk pasir ini awalnya membentang dari muara Sungai Cipelebuh sepanjang 15 kilometer dan seharusnya menjadi senjata ampuh penangkal tsunami alamiah.