Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pantai Pameungpeuk, Garut, Saat Masih 'Perawan' di Tahun 1920-an, Menurut Museum Tropen

Pesona pantai-pantai Pameungpeuk, Garut, saat masih 'perawan' di tahun 1920-an, terekam di situs Museum Tropen, Belanda.

Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in Pantai Pameungpeuk, Garut, Saat Masih 'Perawan' di Tahun 1920-an, Menurut Museum Tropen
Kompas/ Mawar Kusuma
Pantai Cilauteureun atau dikenal sebagai Pantai Santolo memesona mata dengan hamparan pasir putihnya yang luas. 

Pantai Sayang Heulang dengan pantai karangnya.

Padahal, gumuk pasir sejatinya merupakan atraksi wisata alami yang sangat menarik. Selain di Pameungpeuk, gumuk pasir serupa di Indonesia hanya bisa dijumpai di Parangtritis, Yogyakarta.

”Seharusnya cukup melestarikan gumuk, tak perlu membangun tembok penangkal tsunami seperti di Jepang,” ujar Bachtiar yang juga merupakan pegiat geotrek dan menulis sejumlah buku, seperti Bandung Purba dan Lalang Bumi.

Pantai-pantai di Pameungpeuk punya sejarah unik sebagai pangkalan kawasan militer zaman Belanda dan Jepang. Hingga kini, masih banyak peninggalan bungker yang ditemui di sepanjang pantai. Sempat tertutup untuk masyarakat umum, pantai kemudian berkembang menjadi destinasi wisata regional. Lahan yang dulunya menjadi kawasan militer tersebut kini dikelola oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional sebagai lokasi peluncuran roket.

Selain pantai, destinasi wisata lain yang menarik di Pameungpeuk adalah Gunung Nagara. Gunung di bagian utara ini punya nilai mistis yang kental. Warga sekitar percaya, Gunung Nagara merupakan tempat tinggal harimau jelmaan dari Prabu Siliwangi.

Dengan jarak tempuh 84 kilometer dari kota Garut, perjalanan menuju Pameungpeuk melalui Cikajang sekaligus menjadi pengalaman tak terlupakan. Memasuki kawasan perkebunan teh dan hutan berkayu raksasa, stamina tubuh diuji oleh pengalaman menyusuri jalanan dengan banyak kelokan tajam. Kelokan ekstrem ini terbentuk karena jalan aspal ini dibuat mengikuti kontur bukit dan lembah yang seolah berlapis-lapis.

BERITA TERKAIT

Pada beberapa ruas jalan, tampak papan peringatan bahaya longsor. Di banyak titik, rimbunnya pepohonan hutan serta perkebunan teh memang sudah tergantikan dengan pertanaman sayur sehingga memunculkan potensi longsor. Akar sayur tak sanggup menahan limpahan air hujan yang menerobos di antara pori-pori tanah pegunungan Garut selatan yang bersifat lempung mengembang.

Wisata Belanda

Infrastruktur jalan dari kota Garut menuju Pameungpeuk sudah terbangun sejak era penjajahan Belanda. Penjajah memiliki kepentingan membangun jalan untuk mempermudah akses pengangkutan hasil perkebunan teh dan karet. Dulunya, perkebunan teh membentang dari Cikajang hingga Neglasari. Kini, tanaman teh hanya dijumpai sepenggal-sepenggal. Perkebunan karet di kawasan seperti Cilaut, Nagara, dan Cimari juga tak lagi berproduksi.

Selain kejutan kelokan tajam, pemandangan pepohonan hutan, dan perkebunan teh, jalanan menuju Pameungpeuk juga menghadirkan kecantikan air terjun alami. Keindahan air terjun dengan sungai-sungai berair jernih ini semakin menjadi limpahan pemandangan jika wisatawan menempuh jalan dari arah Ciwidey atau Pengalengan menyusuri pantai selatan menuju Pameungpeuk. Rute tersebut merupakan jalur favorit bagi mereka yang melengkapi diri dengan kendaraan offroad karena banyak ruas jalan yang rusak.

Karena keelokan bentang alamnya, tak heran jika Pameungpeuk menjadi destinasi wisata sejak masa kolonial. Obyek wisata yang digadang-gadang untuk promosi tak lain adalah Pantai Cilauteureun. Teluk Cilauteureun menjadi zona wisata yang luar biasa yang menghadap langsung ke Samudra Indonesia. Thilly menjadi salah satu fotografer yang berperan mempromosikan wisata Garut.

Situs Museum Tropen membubuhkan keterangan tentang biografi Thilly yang merupakan anak dari pasangan, Herman Weissenborn dan Paula Roessner, pemilik perkebunan kopi di Kediri, Jawa Timur. Pada 1892, keluarga kembali ke Den Haag, Belanda. Thilly belajar fotografi dari kakaknya yang membuka studio fotografi di Den Haag pada 1903 sebelum kemudian kembali ke Hindia Belanda lalu menjadi fotografer profesional.

Koninklijk Indische Tropenmuseum menyimpan foto album utama yang diproduksi di studio Foto Lux milik Thilly. Pada masa itu, studio foto memproduksi album utama dengan cetakan foto gelatin perak dengan sinar alami. Di atas foto-foto itu terdapat tanda: Foto Lux, Garut. Kumpulan foto karya Thilly juga diterbitkan penerbit Sijthoff, Amsterdam, Belanda, dalam buku setebal 151 halaman bertajuk Indische Foto’s (1917-1942) van Thilly Weissenborn.

Halaman
123
Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas