Menjelajahi Gampong Pande, Dua Pedang VOC dan Titik Nol Banda Aceh
Kuta Raja, kotanya para raja itu kini telah menapaki usia 810.
Editor: Mohamad Yoenus
Tatkala Kuta Raja menjelma menjadi kota urban bernama Banda Aceh, penduduk Gampong Pande kebanyakan adalah petani tambak.
Makam Tuan di Kandang.
Sementara para perempuannya adalah produsen rokok kawung.
Alam dan segenap isi di dalamnya menjadi sahabat terbaik mereka.
Saat Aceh disapu tsunami, puluhan hektare tambak berubah menjadi lahan tidur, begitu pula spesies di dalamnya, yaitu pohon nipah sebagai bahan baku rokok kawung.
Dua sektor usaha yang telah mengepulkan asap dapur sekitar 600-an warga setempat.
“Kalau sekarang warga di sini kebanyakan kerja serabutan, ada yang melaut dan berdagang,” cerita Nova (29), warga asal Meulaboh yang sudah lima tahun menetap di sini.
Di desa yang oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banda Aceh ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya tersimpan dua bilah pedang VOC dan makam-makam yang tidak terawat usai diterjang tsunami.
Sementara koin emas telah lama berpindah tangan dan diperjualbelikan ke luar.
Menurut Kepala Desa Gampong Pande, Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh, Amiruddin baik mata uang Aceh tempo dulu berupa dirham maupun keramik guci atau porselen peninggalan Dinasti Ming banyak diincar hingga kini.
Kawasan yang sejak 2010 ditetapkan sebagai situs cagar budaya itu sekarang terbuka untuk umum dan cocok dijadikan sebagai wisata sejarah.
Anda bisa datang kapan saja dan tanpa dipungut biaya apapun.
Situs-situs sejarah membisu, menampilkan wajah lain kota Banda Aceh.
Menelusuri Gampong Pande, kita diajak berkelana menengok kembali gemilang Aceh tempo dulu.
Sepanjang logam itu bergemerincing, sepanjang itulah jantung ekonomi berdetak dan gemilang kejayaan memancarkan kemilaunya.