Lurah pun Diguyur Air, Tradisi Gebyuran Bustaman Jelang Ramadan di Semarang
Lurah pun tak luput dari gebyuran warga, dan tidak marah.
Editor: Mohamad Yoenus
"Lurah pun tak luput dari gebyuran warga, dan tidak marah juga," ujar Hari Bustaman, tokoh masyarakat setempat.
Menurut Hari, Gebyuran Bustaman merupakan tradisi peninggalan Kiai Bustaman, pendiri kampung.
Menjelang Ramadan, Kiai Bustaman mengguyurkan air dari sumur kampung ke cucu-cucunya.
"Seperti tradisi padusan di beberapa daerah, tujuan gebyuran ini untuk membersihkan noda sebelum menjalani ibadah puasa," jelasnya.
Tradisi Perang Air di Semarang.
Setelah persediaan air masing-masing warga habis, perang air pun berhenti.
Jalan-jalan kampung dan kondisi basah kuyup tak langsung membuat keceriaan warga hilang.
Mereka malah berkumpul dan makan bersama sego gudangan (nasi gudangan).
Masakan yang telah disediakan sebelumnya ini terdiri dari nasi dan sayuran yang telah dicampur sambal kelapa.
Kebersamaan itu semakin mencairkan suasana dan membuat warga tambah akrab.
"Tradisi ini terbuka untuk umum. Siapa saja yang tertarik, bisa bergabung bersama kami tahun depan," ujar Hari.
Berbagi makanan seusai Perang Air di Semarang.
Kampung Bustaman berada di kawasan Jalan MT Haryono, Kota Semarang.
Kampung ini bisa diakses menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) koridor III.
Dari Bandara Ahmad Yani Semarang, anda bisa naik BRT dari Kalibanteng ke arah kota.
Selanjutnya, transit di shelter depan SMAN 5 Semarang dan berganti BRT koridor III.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.