Kisah Rencong, Senjata Legendaris Kesultanan Aceh
Rencong menggantikan kedudukan pedang karena dinilai keberadaannya tidak mencolok.
Editor: Mohamad Yoenus
Pada zaman Kerajaaan Aceh Darussalam yang berpusat di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), para pengrajin berkumpul di Gampong Pande.
Pande bermakna pandai. Dinamai demikian karena di situlah para pandai besi berhimpun.
“Perbedaan rencong zaman dulu hanya mengenal satu model, jadi semuanya sama. Kalau sekarang rencong sudah banyak dikreasi khususnya pada bagian gagang, ada yang menggunakan tanduk kerbau ada juga yang memakai kayu atau kombinasi keduanya. Selain itu motif ukirannya juga lebih kreatif,” ujar Zuhri Hasyim (52), seorang pengrajin rencong dari Desa Baet Mesjid Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar.
Proses pembuatan
Laki-laki yang sejak umur 16 tahun menggeluti profesinya sebagai pengrajin, biasa membuat rencong sesuai pesanan.
Rata-rata dalam sehari ia menyelesaikan pembuatan sebilah rencong.
Prosesnya dimulai dari mengolah bahan baku berupa besi putih atau besi hitam.
Bahan baku tersebut diambil dari bahan bekas yang sudah tak terpakai atau dibelinya dari penggalas.
Besi batangan itu lantas dibelah sesuai kebutuhan. Tahap selanjutnya sekaligus yang paling menentukan adalah proses tempa.
Potongan besi dipanaskan di atas bara, kemudian besi yang telah menyala merah itu ditaruh di atas tatakan lantas dihantam berulang-ulang menggunakan semacam palu berukuran ektra besar.
Begitu seterusnya hingga mencapai hasil yang diinginkan.
Sementara proses pembuatan gagang dimulai dari memotong kayu atau tanduk.
Keduanya lantas dibuat pola untuk kemudian diukir menggunakan kikir.
Tempo dulu ukiran yang diterapkan sebatas motif etnik seperti motif pintu Aceh atau pucuk rebung.