Sate Ayam Jalan Gajah Mada, Ponorogo, Diburu Pemudik, Asapnya Bikin Perut Keroncongan
Banyak mobil berplat nomor luar daerah berjajar-jajar sepanjang jalan Soekarno-Hatta sampai pojokan jalan Gajah Mada. Mereka antre demi membeli sate.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, PONOROGO - Setiap memasuki hari terakhir liburan Lebaran, tempat-tempat penjaja makanan khas di Ponorogo kerap dibanjiri para pemudik.
Seperti halnya di pojokan jalan Gajah Mada Ponorogo ini, mirip pembakaran hutan di daerah Sumatra sana hanya saja yang membedakan asap di Ponorogo ini tidak pedih di mata, baunya tidak apek namun gurih yang bikin perut keroncongan.
Kepulan asap dari bakaran sate di Jalan Gajahmada, Ponorogo, ini kerap menggugah selera siapa saja yang lewat tempat itu. (Kompasiana/Nanang Diyanto)
Asap ini berasal dari pembakaran sate yang mengepul sampai membumbung tinggi bahkan menghalangi pandangan para pengendara yang akan melewati jalan sekitarnya.
Banyak mobil berplat nomor luar daerah berjajar-jajar sepanjang jalan Soekarno-Hatta sampai pojokan jalan Gajah Mada. Mereka antre membeli sate untuk oleh-oleh pulang ke daerahnya.
Sebenarnya banyak tempat sentra penjualan sate di Ponorogo, namun di pojokan jalan Gajah Mada ini (Ngepos) sudah terkenal sejak tahun 50-an, karena dulunya tempat ini bekas teminal lama.
Strategisnya tempat jualan menjadi jujugan para pengunjung, pengunjung tinggal memarkir kendaraannya di jalanan dan tidak perlu masuk gang seperti tempat-tempat sate lainnya.
Di tempat ini dulunya paling terkenal adalah sate Pak Bagong, namun karena tempat ini dibangun oleh pemiliknya yang baru membuat nilai sewa naik 5 kali lipat, sehingga membuat Pak Bagong berpindah jualan ke arah jalan menuju Madiun.
Namun kesempatan ini digunakan oleh teman-teman Pak Bagong yang tak mau pindah, mereka saling berpatungan untuk menyewa tempat ini, dengan begitu keuntungan masih ia dapat, dan tak perlu babat (merintis) lagi karena tempat ini sudah terkenal dan menjadi tujuan para pengunjung luar kota.
Keempat tukang sate ini masih bersaudara, sesama tetangga, jarak mereka jualan cuma 2 meteran, meski modal mereka sendiri-sendiri tapi mereka kompak.
Jenis dan rasa satenya juga mirip, resepnya juga sama dari kakek-nenek mereka, mereka berasal dari Pubosuman yang citra rasa satenya agak berbeda dengan sate ayam ponorogo lainnya.
Bumbunya sama-sama kacang namun terkesan segar dan manis, sementara ukuran satenya tidak memanjang seperti sate di sentra Gang sate (tempat terkenal lainnya di Ponorogo).
Mereka saling mengambil dagangan mentah (sate yang belum dibakar) bila kehabisan sate, atau mengalihkan pembeli ke saudaranya agar tidak terlalu mengantri, toh mereka datangnya juga bersama-sama dan pulangnya pun berbarengan.
Di Ponorogo sendiri ada beberapa jenis sate ayam, yang tiap daerah (tempat) mempunyai kekhususan sendiri, Sate Purbosuman, Sate Nologaten (gang sate), sate Pasar Pon (kota lama), dan sate-sate ayam di pedesaan yang rata-rata mirip sate kota lama.
Mereka berjualan mulai pukul 7 pagi sampai pukul 7 malam, rombong dan peralatannya ditinggal dan dimasukkan ke dalam kios, mereka datang cuma membawa bahan mentah, yaitu sate yang sudah disunduk, bumbu, sambal, dan lontong. (Kompasiana/Nanang Diyanto)