Rumah Asli Melayu Bangka yang Amat Sederhana Seperti Ini Masih Bertahan di Bangka Tengah
Inilah rumah asli Melayu Bangka yang masih tersisa di Dusun Sadap Desa Perlang Kecamatan Lubuk Besar Kabupaten Bangka Tengah.
Editor: Agung Budi Santoso
Dari jalan raya Pangkalpinang ke utara sampai ke kampung Bakam terdapat22 kampung termasuk 20 kampung baru. Dari jalan raya Pangkalpinang ke Distrik Sungaiselan terdapat 7 kampung termasuk 6 kampung baru.
Dari jalan raya Sungaiselan ke kampung Kurau terdapat 7 kampung baru dan 3 kampung lama, dan disepanjang jalan raya dari Bakam melalui kampung Layang ke Distrik Sungailiat terdapat 7 kampung baru dan 1 kampung lama.
Jumlah seluruh kampung yang terbentuk di sepanjang jalan raya yang dibangun pada akhir perlawanan rakyat Bangka, seluruhnya mencakup 98 kampung.
Pembangunan kampung tersebut diatur dengan ketentuan yaitu setiap tiga paaldibangun sebuah kampung kecil atau dusun yang dikepalai seorang Lngan atau kepala dusun dan setiap enam paal dibangun sebuah kampung besar yang dikepalai seorang Gegading atau kepala kampung.
Kampung kecil atau dusun terdiri atas 20 sampai 30 bubung rumah, dengan penduduk antara 80 sampai 100 jiwa, kemudian kampung besar terdiri atas 40 sampai 60 bubung rumah dengan penduduk berkisar antara 150 sampai 200 jiwa.
Pemukiman penduduk di kampung yang baru dibangun ditempatkan dengan cara berderet dan berbaris mengikuti ruas jalan.
Rumah-rumah penduduk tersebut selanjutnya disatukan oleh sebuah balai, biasanya tipe kampung yang dibentuk selalu mencari wilayah yang ada sumber mata air, ladang rumbia dan di pertengahan kampung dibangun surau atau masjid serta dibagian ujung kampung dijadikan sebagai lokasi perkuburan.
Balai yang dibangun di kampung selain dipergunakan untuk mengawasi kondisi kampung-kampung, juga dipergunakan untuk pos-pos titik henti pegawai-pegawai dan Opas Pemerintah Belanda serta para pekerja yang mengangkut dan mendistribusikan barang-barang komoditi pada masa itu.
Sementara itu ladang-ladang padi milik penduduk masih tetap berada di pedalaman hutan yang jauh dari pemukiman atau di belakang pemukiman. Biasanya penduduk mengerjakan ladang dan tinggal di pondok yang disebut pondok ume selama beberapa hari.
Penduduk biasanya pulang pada hari Jumat untuk melaksanakan ibadah sholat Jumat berjamaah di kampung. Situasi kampung juga akan ramai bila perayaan hari besar keagamaan dan acara pernikahan yang biasanya dilakukan setelah selesai musim panen padi di ladang atau ume.
Pemerintah Hindia Belanda juga berusaha untuk memisahkan pemukiman penduduk pribumi Bangka dengan pemukiman pekerja-pekerja tambang dari Cina. Umumnya pekerja-pekerja tambang tinggal dan membentuk perkampungan sendiri dibekas penambangan timah.
Beberapa perkampungan Cina yang didirikan dibekas penambangan timah masih kita temukan di pulau Bangka hingga sekarang seperti kampung Cina yang ada di Kota Pangkalpinang yaitu kampung Nai si fuk(kampung Bintang), kampung Yung fo hin(kampung Semabung), kampung Sung sa ti(kampung Pasirputih), Parit Lalang dan kampung Si luk yang berarti tambang nomor 46.
Pemerintah Hindia Belanda juga menempatkan pemukiman orang-orang Cina di ujung atau di pinggir agak ke dalam dari perkampungan penduduk pribumi karena umumnya orang Cina di samping berkebun sayuran, menanam Kelapa, berkebun lada dan beternak Babi.
Pembentukan kampung-kampung bentukan Hindia Belanda terus berkembang dan pada tahun 1896 tercatat sekitar 2.000 rumah terbangun dan terkonsentrasi di kiri dan kanan jalan pada perkampungan-perkampungan yang tersebar di pulau Bangka.