Jangan Berpikiran yang Jagoan Main Barongsai Itu Selalu Orang Tionghoa, di Solo Mayoritas Jawa
Jangan berpikiran pemain barongsai itu selalu orang Tionghoa. Di Solo, pemain barongsai mayoritas orang-orang Jawa.
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Labib Zamani
TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto (era Orde Baru), kesenian tradisional asal China (Tiongkok), barongsai, sempat dilarang.
Dalam masa politik saat itu segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam, termasuk barongsai.
Setelah tahun 1998, atau sesudah lengsernya rezim Orde Baru, geliat kesenian tradisional Tionghoa kembali muncul.
Tepatnya pada masa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Gus Dur saat itu mengeluarkan Keppres No 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres 14 Tahun 1967 tentang segala adat istiadat, kepercayaan dan budayanya.
Keluarnya Keppres itu diikuti oleh munculnya kelompok barongsai di Tanah Air.
Termasuk, kelompok Barongsai Tripusaka yang bermarkas di Jl Drs Yap Tjwan Bing Jagalan No 15 Jebres, Surakarta, Jawa Tengah.
Atraksi barongsai Tripusaka dari Surakarta. (Tribunsolo.com/ Labib Zamani)
Barongsai Tripusaka didirikan pada 1999 oleh JS Heru Subianto dan WS Adjie Chandra.
Anggota kelompok kesenian tradisional Tionghoa ini sebagian besar adalah keturunan Jawa.
Sedangkan yang asli Tionghoa hanya sekitar 15 persen.
Usia mereka mulai dari empat tahun sampai sudah berkeluarga.
Menurut Adjie Chandra kepada TribunSolo.com, Barongsai Tripusaka memiliki sekitar 70 orang anggota.
Selain multiras, kata Adjie, anggota-anggotanya juga multiagama.