Tak Sekadar Lomba, Festival Pacu Jalur Ternyata Penuh Makna dan Filosofi yang Mendalam
Festival Pacu Jalur yang penuh makna dan filosofi menjadi salah satu festival budaya terbaik di Indonesia yang sukses menarik perhatian wisatawan.
Penulis: Muhammad Yurokha May
Pada abad ke-17, jalur hanya digunakan sebagai alat transportasi bagi masyarakat yang tinggal sepanjang aliran Sungai Kuantan.
Seiring berjalannya waktu, jalur-jalur yang digunakan sebagai alat transportasi tersebut semakin berkembang.
Baca juga: Line Up Joyland Festival Jakarta 2023, Mew hingga Fleet Foxes Siap Hibur Penggemar
Baik itu muncul jalur yang dihias dengan ukiran indah dan khas, dilengkapi payu, selendang, tiang tengah (gulang-gulang), serta lambai-lambai (tempat khusus bagi juru mudi berdiri).
Perkembangan tersebutlah yang akhirnya "melahirkan" lomba adu cepat antar jalur, atau saat ini dikenal sebagai nama Festival Pacu Jalur.
Awalnya, Pacu Jalur diselenggarakan untuk merayakan hari raya agama Islam, seperti Hari Raya Idulfitri di Riau.
Namun, di masa penjajahan Belanda, Pacu Jalur digunakan untuk merayakan hari jadi Ratu Wilhelmina setiap tanggal 31 Agustus.
Makna Tarian Festival Pacu Jalur
Faktanya, tradisi turun-temurun ini memiliki makna dan filosofi yang sangat mendalam.
Baik itu dari segi pembuatan perahu, hingga makna di setiap gerakan sang penari saat Pacu Jalur.
Baca juga: 28 Fakta Unik Vietnam, Negeri Naga Biru yang Punya Festival Pasar Cinta
Ditambah lagi, pembuatan jalur tidak dilakukan sembarangan.
Sebelum mengambil kayu besar, seluruh masyarakat harus melakukan ritual terlebih dahulu.
Tujuannya untuk menghormati dan meminta izin kepada hutan belantara saat mengambil kayu yang besar.
Satu jalur bisa menampung 50-60 orang (anak pacu), dan setiap orang di perahu memiliki tugas masing-masing.
Baik itu Tukang Concang (komandan atau pemberi aba-aba), Tukang Pinggang (juru mudi), dan Tukang Onjai (pemberi irama dengan cara menggoyang-goyangkan badan), dan terakhir adalah Tukang Tari atau Anak Coki yang berada di posisi paling depan.