Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Evaluasi dan Alternatif Solusi Konflik KPK-Polri
Suka tidak suka, harus disebut Presiden Jokowi sebagai orang paling bertanggungjawab atas terjadinya konflik KPK dan Polri yang berlarut-larut.
Editor: Y Gustaman
Seolah tak mau kalah, DPR pun beraksi dengan memanggil orang-orang yang menjadi saksi dalam kasus pelaporan Ketua KPK Abraham Samad. Sayangnya, para pelapor pimpinan KPK justru sama sekali tidak dipanggil oleh DPR. Padahal, pemanggilan terhadap orang-orang yang melaporkan Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain sebenarnya justru lebih penting dilakukan oleh DPR daripada pemanggilan terhadap Hasto Kristiyanto.
Dengan memanggil seluruh pelapor para pimpinan KPK, maka DPR dapat mengetahui motif yang sesungguhnya dari pelaporan mereka itu. Hal tersebut penting dilakukan oleh DPR agar dapat diketahui apakah pelaporan terhadap para pimpinan KPK oleh orang-orang itu ke Mabes Polri karena ada tekanan dari pihak tertentu ataukah karena alasan yang lain. Disinilah dugaan kriminalisasi terhadap para pimpinan KPK bisa diuji.
Andaikata penundaan penyelesaian masalah oleh Presiden terkait dengan proses praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan, maka hal itu jelas tidak banyak membantu. Misalkan saja hakim menyatakan menerima permohonan Budi Gunawan dan memutuskan penetapan status tersangka terhadap yang bersangkutan oleh KPK adalah tidak sah, tetapi Hakim tidak menyatakan KPK harus menghentikan proses hukum terhadap Budi Gunawan, maka sudah barang tentu masalahnya tidak akan berhenti disitu. Sebab, dalam praktiknya selama ini Hakim di Pengadilan Negeri seringkali bertindak sebagai corong undang-undang. Dalam UU KPK dinyatakan bahwa lembaga anti rasuah itu tidak berwenang mengeluarkan SP3.
Oleh sebab itu saya menyarankan agar dari luar negeri Presiden bisa langsung mengambil sikap yang lebih tegas ditengah situasi yang sudah tidak normal seperti sekarang ini. Presiden bisa saja membatalkan pelantikan Budi Gunawan, tetapi Presiden tidak bisa memutuskannya sendiri. Presiden harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari DPR, sebab sebelumnya DPR juga sudah kadung memberikan persetujuan terhadap Budi Gunawan.
Caranya, Presiden cukup mengajukan surat kepada DPR untuk meminta persetujuan menganulir Budi Gunawan. Kalau DPR setuju, maka selesai masalahnya. Bukankah Presiden telah mendapatkan komitmen dari KMP yang menguasai parlemen?
Cara tersebut bisa diambil oleh Presiden dan DPR dengan logika bahwa Presiden adalah lembaga negara yang berwenang untuk mengusulkan Calon Kapolri dan DPR yang berwenang memberikan persetujuan. Oleh sebab itu, apa yang sudah diusulkan oleh Presiden dan apa yang sudah disetujui oleh DPR, dapat saja dianulir oleh kedua lembaga yang berwenang tersebut. Jadi kuncinya ada pada Presiden dan DPR. Dua lembaga itu kan mendapatkan mandat langsung dari rakyat. Sehingga apa yang diinginkan oleh Presiden dan DPR bisa dikualifikasikan sebagai kehendak rakyat.
Bahwa atas sikap Presiden dan DPR tersebut Budi Gunawan merasa dirugikan dan kemudian ingin menggugat Presiden dan DPR ke pengadilan, misalnya, ya tidak apa-apa. Dia punya hak untuk melakukan itu. Bagaimanapun posisi Presiden dan DPR lebih kuat daripada Budi Gunawan dalam pencalonan Kapolri.