Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sejarah Kopi Gayo: Sengkewe dan Belanda
Masyarakat Gayo menyebut kopi dengan istilah "sengkewe" atau "kewe." Tanaman kopi sudah tumbuh di Gayo, sebagai tanaman liar, jauh sebelum Belanda ma
Editor: Yulis Sulistyawan
Publikasi yang lain menyebutkan, kopi Gayo, Aceh berasal dari Belanda yang dibawa oleh seorang pengusaha Belanda pada abad XVII melalui Batavia (sekarang Jakarta) lalu masuk ke Aceh.
Kopi yang pertama sekali diperkenalkan adalah kopi jenis Arabica yang kemudian berkembang dengan jenis yang makin beragam. (Diunduh pada 26 januari 2014 dari (http://www.kopiaceh.com/asal-usul-kopi-aceh/)
Boleh jadi budidaya kopi secara besar-besaran baru dilakukan oleh Belanda, segera setelah selesainya pembangunan jalan utama Takengon-Bireuen pada 1916 (mulai dibangun 1904), sehingga bisa dilintasi mobil.
Ketika itu kolonialis Belanda langsung membuka tiga perkebunan besar, yaitu perkebunan kopi seluas 20.000,- hektar, perkebunan teh dan perkebunan pinus.
Belanda juga membangun kilang pengolahan kopi terletak di Bandar Lampahan (Bener Lampahen), sekarang masuk wilayah Kabupaten Bener Meriah.
Sedangkan areal perkebunan tersebar pada radius 40 Km dari kilang. Perkebunan kopi dan pinus mulai berproduksi pada tahun 1930-an. Keterangan ini diutarakan oleh cendikiawan Gayo, Prof. Alyasa’ Abubakar, MA dalam pengantar buku “Catatan Pahala, Muhammad Ali Wari, Bandar Publishing 2010”.
Belanda membangun areal perkebunan teh seluas 15.000,- hektar, terletak Ponok Sayur, Ponok Baru, dan Redlong, Ibukota Kabupaten Bener Meriah. Mulai berproduksi awal 1940-an.
Teh “Redlong” sangat terkenal di Eropa sebelum Perang Dunia II karena rasanya yang istimewa.
Masyarakat Gayo yang semula berkutat dengan dunia pertanian sawah, nelayan danau, lambat laun beralih ke perkebunan kopi.
Tapi usaha perkebunan kopi sempat terlantar menyusul masuknya Jepang pada 1942. Usaha perkebunan kopi rakyat di Gayo baru berkembang setelah zaman kemerdekaan,terutama setelah selesainya konflik Darul Islam (DI/TII) tahun 1953-1960-an dan peristiwa G30S PKI.
Sejak itu, sampai sekarang masyarakat Gayo mulai mengandalkan kopi sebagai komoditas utama. Lahan perkebunan berkembang signifikan hingga kini mencapai 80.000,- hektar lebih.
Aktivitaa berkebun kopi kembali terganggu saat konflik Aceh pada 1997-2005. Gangguan keamanan membuat masyarakat tak berani ke kebun. (***)
Ditulis Fikar W Eda
Jurnalis Serambi Indonesia sekaligus pecinta dan pegiat Kopi asal Gayo