Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pasar Gelap Kekuasaan Era Reformasi
Kegaduhan politik selama tahun 2015 pada cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif telah menguras energi bangsa Indonesia.
Ditulis oleh : RESPUBLICA POLITICAL INSTITUTE
TRIBUNNERS - Kegaduhan politik selama tahun 2015 pada cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif telah menguras energi bangsa Indonesia.
Direktur Eksekutif Respublica Political Institute (RPI), Benny Sabdo menegaskan banalitas korupsi dan miskinnya etika publik di negeri ini telah merusak tatanan demokrasi.
"Saya merefleksikan demokrasi Indonesia selama pasca reformasi telah melahirkan pasar gelap kekuasaan," tegas Benny dalam Focus Group Discussion Pengurus Pusat Pemuda Katolik di Jakarta (9/1/2015).
Menurutnya, kasus skandal Freeport dengan tagline “papa minta saham” menjadi bukti kuat sistem demokrasi telah masuk pasar gelap kekuasaan.
Ia mengkritisi demokrasi pada era globalisasi hanya berarti sebuah metode pemilihan pemimpin lewat voting, tidak ada hubungannya dengan kedaulatan rakyat atau warga negara.
"Memang dari rakyat tetapi tidak untuk rakyat, apalagi oleh rakyat,”" kritiknya.
Benny menegaskan saat ini yang berdaulat adalah perusahaan-perusahaan multinasional, bukan rakyat atau warga negara.
"Mereka membiarkan proses demokrasi memilih pemimpin. Begitu pemimpin terpilih. Mereka dengan mudah menaklukkan politisi, presiden, ketua DPR, anggota DPR dengan iming-iming uang dalam jumlah yang menggiurkan," urainya.
Ia menambahkan kolusi antara penguasa dan pengusaha (korupsi global) akhirnya menelikung dan dapat mematikan demokrasi di Indonesia.
Menurut Noreena Hertz dalam Silent Takeover (2001), papar Benny, perusahaan multinasional hanya memiliki satu kepentingan, keuntungan global.
"Bagi mereka tidak penting apakah sebuah rezim itu demokratis, otoriter, atau komunis sekali pun. Rezim demokratis biasanya mangsa yang paling empuk bagi perusahaan multinasional,” terangnya.
Politisi memang dipilih rakyat, tetapi setelah terpilih, mereka tidak peduli lagi dengan konstituennnya.
"Mereka justru sibuk menjadi pelayanan bos-bos perusahaan multinasional. Apa pun yang mereka minta dikabulkan, misalnya perpanjangan kontrak karya, pengurangan pajak perusahaan, pemberian aneka fasilitas impor dan ekspor," urainya.