Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pasar Gelap Kekuasaan Era Reformasi
Kegaduhan politik selama tahun 2015 pada cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif telah menguras energi bangsa Indonesia.
Ia juga menyoroti fenomena korupsi politik tidak hanya terjadi di level elit pusat, tetapi hal yang sama terjadi di elit daerah.
Praktik korupsi yang melibatkan negara dan korporasi secara sistematik berakar dalam politik otonomi daerah yang dikendalikan oleh kleoptokrasi politik partai, terutama di wilayah-wilayah eksploitasi sumber daya alam.
Menurut Benny, modus pengaturan jaringan korupsi ini oleh elit lokal, mereka terhubung secara struktural ke pusat bukan melalui birokrasi maupun korporasi, tetapi melalui infrastruktur partai.
Ia menandaskan partai politik sesungguhnya telah menjadi agen penyalur korupsi melalui transaksi pasar gelap kekuasaan yang mengatur keuntungan bersama antar partai.
"Meski betabrakan secara ideologis, tetap bergandengan rekening dalam mengatur tukar tambah suara dari satu pilkada ke pilkada berikutnya," tutur Benny.
Ia menambahkan pasar gelap kekuasaan dalam banyak transaksi pilkada adalah selera paling banal dalam ambisi korupsi politik saat ini.
Pada sisi lain, demikian Benny, ada situasi paradoksal di kalangan masyarakat bawah, seperti spanduk yang membentang di gerbang sebuah desa, “Pilkada adalah Perang Uang. Kami Menerima Serangan Fajar."
Demokrasi selalu memiliki sisi gelap.
Menurut Benny, berbagai studi empiris tentang demokrasi memperingatkan sisi gelap demokrasi itu ditandai dengan hadirnya fenomena korupsi politik di mana kekuasaan formal yang diperoleh melalui prosedural demokratis dimanfaatkan dan didayagunakan untuk melakukan aksi perburuan rente terhadap sumber dana negara dan dimanfaatkan untuk memperdagangkan otoritas dan pengaruh politik.