Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bahas Perlindungan TKI, Panja PPILN Dibentuk
Rapat kerja Kementerian Ketenagakerjaan dengan komisi IX DPR, Rabu (3/2/2016) akhirnya menyepakati pembentukan panitia kerja (Panja) RUU tentang Perl
Ditulis oleh : Dikdut09
TRIBUNNERS - Rapat kerja Kementerian Ketenagakerjaan dengan komisi IX DPR, Rabu (3/2/2016) akhirnya menyepakati pembentukan panitia kerja (Panja) RUU tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) yang terdiri dari gabungan unsur anggota DPR dan perwakilan pemerintah.
Dalam raker yang dipimpin oleh Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf (FPD), Wakil Ketua Syamsul Bachri (FPG), Asman Abnur (FPAN), dan Hj Ermalena (FPPP) itu, Menaker mengatakan sesuai kesepakatan dalam raker sebelumnya ditetapkan pembahasan Panja akan selesai dalam dua kali masa persidangan tahun ini.
"Sesuai kesepakatan persidangan sebelumnya, setelah disusun jadwal bersama dalam pekan ini, Panja akan selesai dalam dua kali masa persidangan, “ ujar Hanif di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (3/2/2016).
Menaker mengatakan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004, sebagai dasar RUU PPILN, saat ini telah berusia hampir dua belas tahun.
Dua belas tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk melakukan penilaian, evaluasi serta kemudian menetapkan pembaharuan dan perbaikan.
"Kami meyakini dengan pembahasan RUU PPILN, inilah momentum kita menyusun tata kelola migrasi dan perlindungan TKI yang berbeda secara signifikan dari yang ada saat ini,” kata Hanif.
Oleh karenanya, kata Hanif pemerintah beranggapan bahwa sedapat mungkin UU yang dihasilkan nanti memuat hal-hal yang baru, yang berbeda, sarat berisi terobosan atau breakthrough, dalam memberi perlindungan dan kepastian.
“Pemerintah berharap di akhir pembahasan ini, dapat lahir UU dengan karakter yang sama sekali baru. Kami akan sangat mengapresiasi para anggota dewan yang bersama pemerintah berkomitmen meningkatkan perlindungan TKI,” kata Hanif.
Hanif mengatakan pemerintah berjuang agar negara dapat selalu hadir untuk mengurus rakyat dengan sebaik-baiknya.
Dalam konteks substansi UU ini, inti kehadiran negara bukanlah bermakna negara hadir secara fisik dalam seluruh proses migrasi dari hulu ke hilir, dari TKI ke luar rumah hingga pulang.
“Makna kehadiran Negara adalah memberi perlindungan dan kepastian. Kepastian dan perlindungan ini meliputi soal, penyederhanaan tata kelola migrasi, distribusi informasi yang memadai, standarisasi dan akreditasi kelembagaan, pengawasan yang keras dan konsisten serta advokasi bagi anak-anak kita yang bermasalah di luar negeri,” kata Hanif.
Penyederhanaan dan Online
Penyederhanaan tata kelola dan proses migrasi tenaga kerja menjadi inti dari gagasan Pemerintah untuk UU baru ini.
Dengan tata kelola yang lebih sederhana namun tetap aman, maka aspek perlindungan dan kepastian dapat terpenuhi sekaligus, baik bagi TKI maupun pelaku usaha.
Di samping penegakan hukum, tata kelola yang sederhana adalah senjata dalam perang besar kita melawan migrasi ilegal dan perdagangan orang.
“Oleh karenanya, UU yang mengatur tata kelola migrasi sebaiknya menetapkan hal-hal yang bersifat umum, bersifat prinsipil saja. Aspek-aspek yang lebih teknis dapat kita akomodasi di dalam PP atau regulasi lain di bawah UU. Sehingga, apabila diperlukan, penyesuaian-penyesuaian dapat dilakukan dengan lebih fleksibel sesuai tuntutan keadaan," kata Hanif.
"Kami meyakini bahwa UU yang baru nanti akan menghasilkan pergeseran peran dari para pemangku kepentingan. Peran pemerintah daerah sudah semestinya diperkuat. Sementara peran pelaku usaha menjadi lebih terkurangi. Para calon TKI pun selayaknya kita berikan kemandirian dalam berproses, dengan menyiapkan lebih banyak pilihan, tanpa mengurangi aspek perlindungan dan kepastian," lanjutnya.
Hanif kemudian mengatakan bahwa dalam era ekonomi digital ini, pelayanan ini dapat sepenuhnya bersifat online hingga ke daerah-daerah kantong.
Pola-pola pelayanan yang bersifat manual, konvensional, dengan banyaknya tatap muka, harus dikurangi.
Diharapkan UU baru ini meletakkan dasar-dasar bagi pola pelayanan migrasi tenaga kerja yang lebih modern dan akuntabel.
Pemerintah menghindari penggunaan istilah yang memposisikan TKI sebagai objek, bukan subjek. Pemerintah cenderung memilih perbaikan istilah penempatan menjadi pekerja atau migrasi tenaga kerja.
“Perubahan sejumlah istilah ini menjadi starting point bagi perubahan mind set kita secara keseluruhan dalam memberikan perlindungan dan kepastian,” kata Hanif.
Sementara Dede Yusuf mengatakan pihaknya berharap pembahasan RUU PPILN karena tumpang tindih kewenangan ini bisa memberikan manfaat bagi TKI formal dan TKI professional.
“Minggu ini akan tetapkan jadwal bersama dan setelah itu melakukan konsinyering beberapa kali. Selanjutnya akan diselesaikan dalam dua kali masa persidangan, “ kata Dede Yusuf.