Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Keunikan Reba Pesta Tahun Baru Masyarakat Ngada
Reba seperti yang dikenal di kalangan masyarakat Ngada merupakan ritual dan perayaan pesta setiap tahun desa-desa di wilayah bagian Selatan Ngada, Nus
Ditulis oleh : Aloysius Lele Madja, Mantan Dubes RI untuk Chile
TRIBUNNERS - Reba seperti yang dikenal di kalangan masyarakat Ngada merupakan ritual dan perayaan pesta setiap tahun desa-desa di wilayah bagian Selatan Ngada, Nusa Tenggara Timur.
Biasanya Reba diadakan akhir November hingga Februari tahun berikutnya sesuai dengan perhitungan “adat” yang berbeda dari setiap suku atau kampung.
Reba merupakan perayaan syukur atas semua anugerah yang diterima dari Yang Mahakuasa dan permohonan berkat untuk tahun yang akan datang.
Bisa dibilang Reba adalah Pesta Tahun Baru masyarakat Ngada.
Semua hal yang dianggap bisa menghambat optimisme masa depan di tahun baru perlu diselesaikan dirumah adat atau Sa-ó meze atau Sa-ó Pu-ú setiap suku atau woe.
Dan ritual dan pertemuan seluruh anggota suku pada malam sebelum hari Reba (Dheké Reba) mulai dari masalah tanah, pernikahan dan sebagainya.
Ada kemiripan dengan cerita Kitab Suci mengenai keluarnya bangsa Yahudi dari penjajahan di Mesir maka pada upacara dheke Reba.
Dikisahkan asal usul orang Ngada dari tanah antah berantah. Bermacam versi dan penafsiran mengenai asal usul orang Ngada.
Ada teori yang berhipotesa bahwa asal usul masyarakat Ngada dari Yunan yaitu bagian Selatan Cina dengan mengambil dasar argumentasi adanya beberapa nama yang kalau dikaitkan ada hubungan dengan Cina seperti Ine Sina, Guru Sina ataupun jatuhnya hari raya Reba yang hampir bersamaan waktunya dengan Imlek atau tahun baru Cina.
Ada yang menyatakan masyarakat Ngada berasal dari India.
Hal itu dengan mempertimbangkan struktur sosial masyarakat Ngada yang terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu Ga-é meze (bangsawan), Ga-é kiza (menengah) dan ho-ó (hamba sayaha), selain motif pakaian adat dan kepercayaan serta pemujaan terhadap dewa-dewa yang mirip hinduismus.
Mungkin akan muncul hipotesa baru lagi yang memerlukan penelitian dan kajian anthropologibudaya.
Ini merupakan peluang dan tantangan bagi para peneliti khususnya yang bergerak di bidang anthropologi budaya bahkan arkeolog.