Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Draft Revisi UU KPK Bukti Parpol Mewakili Kepentingan Koruptor
Bagi sebagian anggota DPR dan partai politik memaknai draft revisi UU KPK dalam prolegnas 2016 di DPR sebagai upaya memperkuat kelembagaan KPK.
Editor: Dewi Agustina
Yang dengan kekuatan itu mereka bisa melakukan apa saja terhadap KPK, bisa dilakukan sejak pembentukan Panitia Seleksi Pimpinan KPK, penempatan Penyidik, Penuntut dan Hakim-hakim tipikor, dll.
Karena itu, kekuatan di luar KPK yang mencoba-coba mempengaruhi jalannya proses perkara di KPK termasuk keberadaan Dewan Pengawas KPK brtentangan dengan ketentuan pasal 3 diatas, yang menutup jalan bagi masuknya kekuatan manapun yang mencoba menghambat kinerja KPK.
Usaha untuk mempengaruhi KPK dil luar KPK bukan tidak ada dan bukan pula yang kecil-kecil, melainkan kekuatannya yang luar biasa dan dengan cara apapun juga bisa dilakukan oleh mereka termasuk melalui upaya hukum yang tersedia, yaitu praperadilan.
Jadi sesungguhnya perdebatan mengenai perlu tidaknya merevisi UU KPK, terutama tentang perlunya "Dewan Pengawas" KPK guna mengawasi pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK, sebetulnya merupakan upaya ilegal, yang dimotori oleh DPR dan Partai Politik dalam Koalisi Indonesia Hebat yang bukan menyuarakan kepentingan pemberantasan korupsi akan tetapi lebih kepada mewakili ratapan para koruptor yang merasa tidak nyaman dengan kiprah KPK selama ini.
Padahal berdasarkan bukti empiris tidak banyak pihak yang merasa dirugikan akibat penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK, kemudian menggugat KPK melalui praperadilan, dan nyatanya gugatan yang jumlahnya sedikit itupun mayoritas dimenangkan oleh KPK.
Artinya fungsi pengawasan atau kontrol melalui sarana hukum yang ada berhasil menekan atau membatasi potensi penyalahgunaan wewenang dan tugas oleh KPK.
Sangat kecil kemungkinan terjadi penyalahgunaan wewenang dan tugas KPK, karena penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang dibangun oleh KPK dilakukan secara konsisten, dan bisa dikontrol melalui lembaga praperadilan, peran serta masyarakat dan upaya hukum yang ada yaitu gugatan ke pengadilan berdasarkan ketentuan pasal 63 UU No. 20 Tahun 2002 Tentang KPK.
Dengan demikian salah satu bukti empiris bahkan menjadi indikator bahwa potensi pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang dan tugas oleh KPK nyaris tak terdengar.
Hal itu dapat dibuktikan dengan jumlah pihak yang menggugat sangat kecil, angka kekalahan KPK dalam perkara praperadilan sangat-sangat kecil.
Begitu juga dengan adanya fakta bahwa hingga saat ini belum ada satupun korban yang merasa dirugikan akibat penyelidikan, penyidikan, penuntutan oleh KPK menggugat ke Pengadilan.
Apalagi sampai ada putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan KPK bersalah dan harus mengganti rugi dan merehabilitasi nama baik seseorang.
Serahkan pengawasan terhadap KPK kepada masyarakat, sesuai dengan fungsi "peranserta masyarakat" sebagaimana diatur di dalam Bab V, pasal 41 dan 42 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur mengenai peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Begitu pula dengan ketentuan pasal 63 UU KPK yang memberi kesempatan kepada masyarakat atau orang yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan rehabiltasi dan kompensasi baik melalui praperadilan maupun melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada Pengadilan trhadap KPK.
Dengan demikian kekuatan kontrol dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang KPK sudah cukup diatur dengan sangat bijaksana oleh UU KPK dan UU Tipikor.