Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pemerintah Diimbau Tutup Semetara Uber dan Grab Car
Anggota Komisi V Ahmad M. Ali mengimbau pemerintah untuk menutup sementara perusahaan transportasi berbasis aplikasi, Uber dan Grabcar.
Ditulis oleh : Fraksi Nasdem
TRIBUNNERS - Anggota Komisi V Ahmad M. Ali mengimbau pemerintah untuk menutup sementara perusahaan transportasi berbasis aplikasi, Uber dan Grabcar.
Langkah ini dilakukan supaya melindungi masing-masing pelaku usaha transportasi sebelum ada kebijakan yang pasti dari pemerintah terkait taksi daring.
Menurutnya, pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya perlu duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang menguntungkan, baik untuk taksi online atau taksi konvensional.
"Pemerintah dalam hal ini berkewajiban menjalankan undang-undang, karena itu salah satu tugas konstitusinya. Keberadaan Grab Car dan Uber ini dalam undang-undang, ilegal, karena menabrak UU. Maka non-aktifkan dulu sebelum ada jalan tengahnya” ujarnya.
Pangkal persoalan ini menurut Ali adalah persoalah legalitas dan pajak.
Untuk mengatasi itu Menteri Komunikasi dan Komunikasi menyebutkan bahwa saat ini tengah menjajaki pembentukan Koperasi Jasa Perkumpulan Pengusaha Rental Indonesia yang terafiliasi dengan Grab Car dan Uber.
Namun demikian proses perizinan tidak bisa secepat kilat. Perlu ada kajian-kajian dan kesiapan koperasi terkait berikut kepatuhan terhadap undang-undang yang berlaku.
"Pendirian badan hukum dari Grab Car dan Uber merupakan solusi konkrit. Keduanya dibebankan aturan yang sama seperti yang diterapkan kepada perusahaan taksi konvensional. Sedangkan Uber dan Grab Car juga bisa dikenakan instrumen regulasi lain dengan membebankannya legalitas yang jelas berikut pajak yang melekat atas perusahaan dan jasanya,” tutur politikus Partai NasDem ini.
Persoalan lain yang berpotensi menimbulkan polemik adalah sikap pemerintah yang belum bulat dalam mengambil keputusan.
Menurut Mat Ali, sikap ini bisa dilihat dari surat edaran yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan yang melarang taksi online beroperasi.
Sedangkan sikap sebaliknya ditunjukan oleh Menkominfo Rudiantara yang tidak akan menutup aplikasi daring, bahkan mengambil jalan tengah dengan membentuk koperasi.
"Sikap-sikap seperti ini yang seharusnya pemerintah hindari. Maka tidak salah duduk bersama itu penting supaya menghasilkan kebijakan yang bisa menjawab kusutnya persoalan taksi online. Yang saya sayangkan kepada Menhub mengeluarkan surat untuk menutup uber, tapi menteri lainnya enggak," katanya.
Kehadiran taksi daring dua tahun lalu mengambil alih peran taksi konvensional di Jakarta. Lebih dari separuh pengguna taksi konvensional beralih ke taksi daring.
Tarif yang murah menjadi alasan masyarakat lebih memilih menggunakan taksi daring.
Untuk tarif buka pintu saja, taksi daring hanya mematok Rp. 2500 dengan tarif perkilometernya sebesar Rp. 3500 tanpa ada tambahan biaya untuk kemacetan.
Sedangkan tarif buka pintu taksi konvensional sebesar Rp. 7500 dan tarif kilometernya Rp. 4000 ditambah biaya tambahan jika terkena macet.
Tarif murah taksi daring ini yang dinilai tidak adil dalam usaha transportasi publik. Taksi daring tidak dibebankan pajak, uji KIR, dan asuransi penumpang dan pengemudi, seperti yang selama ini diberlakukan terhadap taksi konvensional.
Fakta ini yang menurut Ahmad Ali perlu pembenahan, baik itu taksi daring maupun taksi konvesnional.