Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jangan Larang Anak Anda Mengkritik
Kebenaran tentang surga ada dibawah telapak kaki ibu tidak diragukan lagi kebenarannya. Idealnya, dalam segala praktek hidup anak harus mempertimbangk
Ini bukan syak-wasangka, karena gejala sosial yang terjadi umumnya seperti itu.
Terlihat disini bahwa unggah-ungguh mendapat preferensi dibandingkan dengan kebenaran sebuah kritik.
Syahdan, paradigma inilah yang mungkin menarik ilmu sosial untuk secara ilmiahmempersoalkan dampaknya bagi perkembangan mentalitas anak.
Psikologi berpendapat, pola seperti itu tidak sehat bagi kondisi mental jangka panjang anak. Pada banyak kasus, kemudian dalam diri anak terbentuk self-criticism.
Dalam kamus lengkap psikologi J.P Chaplin (2005), poin kedua dari definisi self-criticism adalah, "Pengenalan dan pengakuan bahwa prestasi sendiri itu tidak memiliki sifat-sifat yang dikehendaki oleh standar sosial atau seperti yang diharapkan atau ditentukan oleh diri sendiri."
Menjadi tidak bijak jika orangtua terus melakukan pengekangan,sambil dilain sisi tetap mempertahankan dalil-dalil untuk membenarkan hal yang dalam domain moral versi orangtua menjadi juklak-juknismenyelenggarakan institusi keorangtuaan, untuk kemudian terpaksa dipatuhi buta oleh anak.
Hal ini hanya semakin mempertajam jarak vertikal antara orangtua dan anak.
Secara tidak langsung eksesdarihal tersebut sekurang-kurangnya yaitu tumbuhnya sikap fatalistis-pesimistis dari anak, self-criticism itu tadi.
Saking tidak pernah dipertimbangkannya sikap dan pendapat anak terhadap hal-hal yang dikehendaki orangtua.
Kita sudah sering mendengar kisah tentang perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim. Coba anda bayangkan kalau saja Nabi Ibrahim tanpa basa-basi, tanpa mengadakan sesi dengar pendapat dengan Nabi Ismail, langsung menyembelih putra terkasihnya itu ketika ia tertidur pulas?
Apa yang sering kita ekspos dari kisah tersebut melulu soal keteladanan Nabi Ismail untuk mengorbankan diri atas perintah Tuhan. Kita jarang untuk kemudian menarik hal yang tak kalah serius, tentang yang dilakukan Nabi Ibrahim sebelum perintah Tuhan itu terlaksana.
Sekilas terlihat, bahkan perintah yang levelnya dari Tuhanlangsung itu, tidak membuat Nabi Ibrahim mendiskreditkan pendapat Nabi Ismail, sang anak tercinta. Bayangkan saja betapa serunya sesi dialog tentang hidup-mati antara ayah dan anak tersebut.
Andai saja banyak orangtua belajar seperti yang Nabi Ibrahim lakukan. Alangkah indahnya hubungan dalam sebuah tali kekeluargaan, yang tidak mendiskreditkan sedikitpun kehadiran anak seperti itu.
Lantas, jika berkaca padaberbagai persoalanyang menuntut adanya konsensus intersubjektif ini, masih relevankah orangtua untuk mengambil jarak dari anak dan cenderung bersikap antikritik? Ataukah sudah saatnya untuk meletakan anak sebagai wacana kontrol dan kritik terhadap orangtua?