Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mirisnya Pendidikan Indonesia
Tepat 2 Mei lalu, semua elemen pendidikan mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen di seluruh Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hard
Penulis: Savira Jatnika A
TRIBUNNERS - Tepat 2 Mei lalu, semua elemen pendidikan mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen di seluruh Indonesia merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Hari tersebut adalah hari yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk memperingati kelahiran Ki Hadjar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan di Indonesia dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa.
Walapun Hari Pendidikan Nasional bukanlah sebuah hari libur nasional, nanum perayaan hari tersebut dirayakan secara serempak di Indonesia.
Perayaan tersebutu biasanya ditandai dengan dilaksanakannya upacara bendera di sekolah-sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA, hingga pergurunan tinggi, biasanya pula disertai dengan penyampaian pidato oleh pemimpin upacara yang bertemakan pendidikan.
Jika berbicara mengenai pendidikan di Indonesia, mungkin tidak akan ada habisnya. Pendidikan di Indonesia memiliki berbagai kisah tersendiri.
Dimulai dari yang membanggakan hingga yang menyedihkan. Namun kali ini kita akan membahas tentang salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia.
Yaitu ketidak-meratanya pendidikan di Indonesia. Ketidak-merataan ini terdiri dari berbagai permasalahan. Dimulai dari permasalahan Fasilitas, Sumber Daya, dan lain sebagainya.
Indonesia memiliki sekitar 250 juta jiwa per tahun 2015 berdasarkan data dari Badan Statistik.
250 Juta tersebut jika kita kalkulasikan terdapat 58 juta anak yang berusia cukup untuk menempuh pendidikan baik SD, SMP, SMA, hingga peruruan tinggi.
Namun, dari 58 juta jiwa tersebut, 10 persennya memerlukan bantuan subsidi dari pemerintahan.
Dan 2,5 juta anak Indonesia harus putus sekolah, karena tidak bisa melanjutkan pendidikan mereka.
Data statistik tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan bahwa terdapat sekelompok anak terntentu yang terkena dapak paling rentan yang sebagian besar berasal dari keluarga yang tidak mampu, sehingga harus terhenti langkahnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
Letak geografis merupakan salah satu penyebab dari ketidak-merataannya pendidikan di Indonesia.
Jika kita bisa lihat di layar kaca atau media lainnya, di daerah terpencil, jika ingin bersekolah banyak anak-anak yang harus menantang maut dan bangun pagi-pagi buta untuk bisa berjalan sangat jauh melewati gunung, bukit, sawah, hutan, menyebrangi sungai dan lainnya agar bisa sampai ke sekolah.