Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kerja Nyata Untuk Siapa
Sejak Amerika Serikat (AS) menderita kalah perang industri manufaktur dengan RRC pada 2008, berindikasi defisit perdagangan
Editor: Rachmat Hidayat
Dalam kegamangan hasil MP3EI, pasangan Capres Joko Widodo - Wapres Jusuf Kalla menjawabnya dalam janji Revolusi Mental berbasis Trisakti dan Nawacita.
Nasionalisme diberbagai lini dikampanyekan sebagai respon atas kritik bahwa liberalisasi dan privatisasi era SBY telah berdampak ekonomi Indonesia tergadaikan. Dengan percaya diri, Joko Widodo saat kampanye mengatakan, “dananya ada kok. Tinggal kita mau kerja atau tidak”.
Bahkan dalam peringatan Konferensi Asia Afrika pada Maret 2015, Joko Widodo dengan lantang menegaskan bahwa pola kerja Bank Dunia (BD) dan Asian Development Bank (ADB) telah usang.
Pernyataan ini mengejutkan berbagai kalangan. Paling tidak ada dua dugaan. Persiden Joko Widodo mungkin tidak melihat bahwa berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean mulai awal Januari 2016 akan berdampak makin kuatnya peranan ADB.
Dugaan lain, justru Presiden Joko Widodo telah ikut masuk dalam kancah peperangan antara RRC dengan sekutunya (Asean Infrastructure Investment Banking dan New Development Bank) melawan AS dengan dengan sekutunya, termasuk Jepang (ADB dan BD).
Tak lama berselang, pernyataan bahwa sikap dan pola kebijakan Bank Dunia dan ADB telah usang, menghilang.
Pemerintah makin disibukkan dengan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Di Komisi XI DPR-RI, saya menyatakan target pertumbuhan ekonomi yang ditegaskan pemerintah, tidak realistis.
Pada APBN 2016, lagi-lagi di Komisi XI DPR-RI, saya menegaskan tidak mungkin pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi 5,3 persen.
Saya menyodorkan alternatif antar 4,8-5,2 persen. Ekonom lain bahkan memberikan prediksi 4,5 persen.
Saat yang sama isu tol laut, pembangunan infrastruktur, pembangunan pembangkit listrik 35GW, pembangunan smelter, pembangunan kereta api cepat yang sebelumnya tidak pernah dibahas, reklamasi pantai Utara Jakarta mencuat ke permukaan.
Intinya, target penerimaan pajak tidak tercapai, target serapan anggaran buruk, defisit anggaran mendekati 3 persen, dan neraca pembayaran yang sulit membaik bersamaan dengan meningkatnya utang luar negeri menjadi 318,92 miliar dolar AS.
Sebelumnya dalam kunjungan ke AS pada Februari 2016, di Sunnyland California dan di Brooking Intitute, Presiden Joko Widodo menyatakan kesediaannya untuk ikut program AS tentang Trans Pacific Partnership (TPP).
Bagi Bernie Sanders, yang mencalonkan diri sebagai Presiden AS dari Partai Demokrat, soal TPP ini yang bertentangan dengan perlindungan tenaga kerja AS.
Polemik TPP dan Trans-antlantic Trade and Investment Partnership (TTIP) di AS terus berkepanjangan dan belum usai.
Lalu apa pertimbangan strategis dan konstitusional saat Presiden Joko Widodo menyatakan kesediaan ikut TPP ?
Belum juga isu ini surut, muncul masalah Tax Amnesty dan impor tenaga kerja dari RRC bersamaan dengan investasi RRC dalam berbagai bidang.