Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Single Mux Berbahaya Bagi Konten Televisi
Rencana pemutakhiran Undang-Undang Penyiaran sebagai pengganti UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terutama dari implementasi multiplekser tunggal (
Rancangan Undang-Undang (RUU) sudah disampaikan oleh Komisi I kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI untuk dilakukan pembahasan dan sinkronisasi.
Terdapat beberapa pasal dalam RUU tersebut yang berpotensi mengganggu pertumbuhan industri penyiaran, baik yang berasal dari sisi teknis, bisnis, dan legal/regulasi.
Sebagai akibat dari “pengingkaran” terhadap sifat-sifat alamiah industri tersebut.
Salah satu potensi kerusakan itu dapat dianalisis dari sisi bisnis. Misalnya, dengan munculnya wacana penetapan multiplekser tunggal (single mux), maka akan terjadi konsekuensi yang luar biasa besar terhadap industri penyiaran.
Dipisahnya eksistensi infrastruktur dengan konten, akan menyebabkan kemunduran yang luar biasa terhadap pelaku industri penyiaran eksisting.
Pemisahan itu akan menyebabkan company value merosot dengan drastis, sehingga perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi konten berkualitas bagi masyarakat.
Kondisi industri eksisting sebenarnya sudah dalam keadaan yang tidak sehat. Di mana tak satu pun LPS Lokal (skala kecil) yang mampu bertahan dalam industri. Biaya operasional yang tinggi, terutama dalam hal penyediaan konten yang berkualitas, serta kesulitan mendapatkan iklan sebagai satu-satunya sumber revenue, menyebabkan mereka tidak bisa eksis.
Dampak negatif dari semua itu antara lain munculnya fenomena penyajian konten yang terkesan asal-asalan, durasi siaran yang minim, serta “jual-beli” lisensi/izin.
Keadaan industri yang tidak sehat ini dipastikan akan bertambah buruk apabila tidak didukung oleh perangkat regulasi yang mampu mengakomodasikan kepentingan para stakeholder industri penyiaran.
Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution menambahkan industri pertelevisian tidak mungkin dijadikan seperti Usaha Kecil Menengah (UKM). Sebab, industri televisi merupakan bisnis padat modal yang harus berinvestasi pada teknologi, studio, transmisi, hingga sumber daya manusia (SDM).
"Jika tidak diatur dengan baik, setiap stasiun televisi hanya akan menghasilkan produksi konten yang tidak bermutu," tuturnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.