Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi RUU Penyiaran yang Baru, Antara Harapan dan Ketidakpastian
RUU Penyiaran ini, apabila disetujui Pemerintah dan DPR RI akan menggantikan Undang Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002
Editor: Choirul Arifin
Single mux operator, dimana hanya ada 1 operator atau penyelenggara layanan multipleksing penyiaran digital, dalam hal ini LPP RTRI.
Dalam model bisnis ini, RTRI akan menguasai dan mengelola penggunaan frekuensi dan menyediakan infrastruktur transmisi sedangkan kegiatan lembaga penyiaran swasta (LPS) hanyalah memproduksi konten dan menyiarkannya melalui kanal frekuensi dan infrastruktur yang dikelola oleh RTRI melalui sistem sewa.
Model multi multipleksing operator, dimana setiap LPS eksisting menjadi pengelola frekuensinya masing-masing dan menjalankan multipleksing untuk keperluan internal LPS sendiri.
Model hybrid, dimana LPP dan LPS yang memiliki kemampuan teknologi yang mumpuni, ditunjuk menjadi operator atau penyelenggara layanan multipleksing. Masing-masing operator multipleksing mengelola frekuensi dan infrastruktur penyiaran untuk dipergunakan oleh LPP atau LPS penyelenggara multipleksing dan LPS lainnya melalui penyewaan kanal frekeunsi dan infrastruktur.
Berdasarkan data yang diperoleh dari EBU (European Broadcasting Union), ABU (Asia Pasific Broadcasting Union) maupun ITU (International Telecommuniation Union), dipastikan hampir seluruh negara anggota ITU yang telah melakukan proses migrasi digital ataupun telah menetapkan ASO, memilih sistem hybrid mux operator.
Hanya ada dua negara yang menggunakan sistem single mux operator, yakni Jerman dan Malaysia.
Model single mux operator dipilih oleh Jerman karena dari sisi populasi pemirsa, TV FTA hanya melayani 10% dari total penduduknya sedangkan 90% dilayani oleh cable dan DTH.
Di Jerman, TV FTA digital hanyalah layanan komplimenter untuk daerah rural. Model ini juga dipilih oleh Malaysia yang segera meluncurkannya kepada publik.
Di Malaysia, hampir 70% masyarakat dan pemirsa dilayani oleh DTH dan Cable ASTRO sedangkan jumlah LPS hanya berjumlah 7 dan sebagian besar dimiliki oleh atau dibawah kontrol Pemerintah.
Kenapa model hybrid maupun multi mux operator yang dipilih bukan model single mux operator? Berikut adalah beberapa alasannya:
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17,000 pulau dari Sabang sampai Merauke.
Apabila Pemerintah menyerahkan pengelolaan frekuensi dan penyediaan infrastruktur penyiaran kepada LPP RTRI atau BUMN sebagai single mux operator maka Pemerintah harus menyediakan dana APBN yang sangat besar untuk membiayai investasi yang akan dikeluarkan oleh single mux operator.
Pembiayaan infrastruktur penyiaran digital melalui mekanisme APBN atau pinjaman dari luar negeri G2 akan membebani anggaran negara yang saat ini fokus pada pembangunan ekonomi kerakyatan.
LPS eksisting akan kehilangan hak untuk mengelola frekuensi yang merupakan roh dari penyiaran TV FTA dan sekaligus menjadi jaminan terselenggaranya penyiaran secara berkesinambungan
TV FTA eksisting telah melakukan investasi yang sangat besar untuk membangun jaringan infrastruktur penyiaran yang berada dilebih dari 50 wilayah layanan dan dapat melayani lebih dari 200 kabupaten dan kota di seluruh Nusantara.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.