Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Isi RUU Penyiaran yang Baru, Antara Harapan dan Ketidakpastian
RUU Penyiaran ini, apabila disetujui Pemerintah dan DPR RI akan menggantikan Undang Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002
Editor: Choirul Arifin
Oleh Ishadi SK, Ketua umum ATVSI
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan undang-undang penyiaraan (“RUU Penyiaran”) akan segera dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI pada akhir masa sidang ini dan disahkan sebagai RUU Penyiaran inisiatif DPR.
Demikian informasi yang disampaikan oleh Abdul Kharis Almansyuri, Ketua Komisi I DPR RI dalam jumpa dengan wartawan beberapa waktu lalu.
Artinya, RUU Penyiaran tersebut sudah melewati pembahasan yang mendalam baik diantara anggota PANJA (Panitia Kerja) Penyiaran yang ditugaskan Komisi I DPR RI untuk menyusun RUU Penyiaran yang baru, maupun diantara anggota-anggota Baleg Badan Legislatif) yang bertugas melakukan harmonisasi pasal demi pasal agar sesuai dengan peraturan perundang- undangan lainnya, termasuk berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kerangka Uji Materil.
Dalam menjalankan tugasnya, sejak dua bulan terakhir, Baleg DPR RI telah melakukan berbagai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan stakeholder industri penyiaran Indonesia untuk mendapatkan masukan, saran dan pendapat terhadap RUU Penyiaran.
Mulai dari pemerintah yang diwakili Kemkominfo, KPI, berbagai asosiasi penyiaran televisi, asosiasi radio, TVRI dan RRI, kalangan akademisi maupun pihak-pihak yang berkepentingan.
RDP ini untuk memastikan RUU Penyiaran tersebut dapat menjadi landasan terciptanya keberlangsungan usaha penyiaran Indonesia menuju industri penyiaran yang mandiri, sehat, kuat dan dapat bersaing di dunia internasional.
RUU Penyiaran ini, apabila disetujui Pemerintah dan DPR RI akan menggantikan Undang Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dan menjadi landasan utama dari pelaksanaan migrasi sistem penyiaran televisi terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar (“TV FTA”) analog menjadi digital.
Berdasar konsensus yang diterima oleh mayoritas Negara-negara anggota ITU (International Telecommunication Union), batas akhir (deadline) dari penggunaan fekuensi analog di Region 1 dan wilayah perbatasan antar negara, atau yang dikenal dengan analog switch off (“ASO”) atau digital switch over (“DSO”) adalah 15 Juni 2020.
Kecuali untuk negara-negara di Region 3 (termasuk Indonesia), negara-negara anggota ITU dapat menetapkan tanggal lain sesuai dengan kondisi industri penyiarannya.
Penggunaan sistem penyiaran digital merupakan suatu keniscayaan dan telah menjadi tuntutan global, khususnya dalam memenuhi ekspektasi pemirsa untuk mendapatkan akses terhadap berbagai konten dan layanan anywhere, anytime dan any device setiap harinya.
Teknologi penyiaran digital juga dapat menciptakan equal level of playing field karena setiap stasiun televisi sudah pasti menghasilkan kualitas gambar dan suara yang baik, sehingga konsentrasi stasiun televisi nantinya adalah bagaimana menciptakan dan memproduksi konten-konten yang berkualitas dan menarik pemirsa.
Dari sisi penggunaan frekuensi, akan terjadi efisiensi dan efisiensi yang diciptakan menghasilkan digital dividend kurang lebih sebesar 112 Mhz, yang dapat digunakan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas layanan broadband data di Indonesia, khususnya daerah pedesaan.
Dari sisi model bisnis migrasi, telah berkembang 3 konsep yang sejak beberapa bulan terakhir menjadi bahan diskusi diantara para pelaku industri penyiaran eksisting, Pemerintah dan expert dibidang penyiaran, yaitu: