Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Maknyuss-nya Ambiguitas Beras
Penambahan value sebagai hasil inovasi teknologi pengolahan dan pemasaran seolah dinafikan. Mungkinkah inovasi bisa lahir tanpa biaya?
Editor: Sanusi
Oleh: Lyra Puspa
TRIBUNNEWS.COM - Antara niat dan narasi tidak bisa dipisahkan. Niat baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus menjaga stabilitas harga pangan di tingkat konsumen, menimbulkan huru-hara berita sebagai dampak narasi yang tak dikemas dengan ciamik. Akibatnya isu penggerebekan beras yang maknyuss baru-baru ini memicu peperangan sudut pandang. Pun menelurkan aneka sudut pandang dari dalam diri saya sendiri.
Sebagai alumni Agribisnis, ke-IPB-an saya tergelitik. Ada isu inovasi teknologi pengolahan dan inovasi tata niaga pertanian yang terlibat di dalamnya. Sebagai Coach yang juga kebetulan pemerhati Neurosains Bisnis & Organisasi, saya juga tertarik mengulas berbagai sudut pandang para pengambil keputusan, para pakar, pengusaha agribisnis, dan masyarakat awam yang berkembang atas kasus ini.
Daripada sok tahu, lebih baik saya jujur bahwa saya terbingung-bingung mengurai ambiguitas dan asinkronitas dalam kasus ini. Ambiguitas sudut pandang dan asinkronitas informasi terjadi setidaknya pada 5 area :
1. Perusahaan dipuji karena membeli gabah dari petani dengan harga premium di atas pasar, namun dilarang menjual dengan harga premium ke konsumen. Penambahan value sebagai hasil inovasi teknologi pengolahan dan pemasaran seolah dinafikan. Mungkinkah inovasi bisa lahir tanpa biaya signifikan ?
2. Penggerebekan didasarkan argumentasi pelanggaran Permendag 47 tahun 2017 tentang HET Rp 9.000/kg yang baru ditetapkan 2 hari sebelumnya, namun kementerian yang lain mengungkap peraturan tersebut belum berlaku efektif. Pengusaha pun bingung, peraturan dan kementerian mana yang harus ditaati ?
3. Opini dibangun tentang adanya ketidakadilan melalui disparitas harga. Apps Info Pangan Jakarta yang dirilis oleh Pemda DKI saja sudah menunjukkan harga rata-rata jenis beras IR64 yang disebut-sebut bersubsidi itu sudah >20 persen di atas HET. Lintas merek. Maka menjadi menyisakan pertanyaan banyak kalangan mengenai ambiguitas transparansi pemilihan merek tertentu sebagai obyek penggerebegan. Mengapa merek yang itu yang dituju ?
4. Argumentasi dari pihak penuntut bahwa beras yang dijual premium adalah hasil oplosan dengan beras IR64 sebagai varietas rastra bersubsidi, ternyata di saat yang sama tidak didukung oleh kementerian lain yang menyanggah argumen tersebut. Lantas menyisakan kebingungan di publik, argumentasi pihak pemerintah mana yang benar ?
5. Perang pernyataan pun terjadi antara Menteri Pertanian yang lama dan yang sedang menjabat. Keduanya seharusnya berangkat dari suara institusi yang sama. Senior dan junior. Keduanya menggunakan argumentasi teknis pertanian. Kebetulan keduanya berbeda almamater dan afiliasi politik. Maka tentang apa ini sebenarnya ?
Panca area ambiguitas dan asinkronitas kasus beras di atas membuat saya tertawa. Jika ditinjau dengan pendekatan Time Perspective ala Phillip Zimbardo dari Stanford University, jangan-jangan Manusia Indonesia memang kebanyakan memiliki mental berpikir yang berorientasi pada Present Time. Masa kini. Bukan hanya masyarakat penduduk negeri, tetapi juga para pemangku kebijakan dan pelaku usaha di sini.
Perhatikan saja pola kita berpikir dan bertindak. Jalan saja dulu, resiko bagaimana nanti. Gelar pendapat dulu, data yang bertabrakan dipikirkan belakangan. Yang penting muncul dulu meskipun pro-kontra, toh nanti masyarakat akan lupa dengan sendirinya. Cara instan selalu jadi cara yang diidam-idamkan. Mudah pemaaf dan mudah lupa.
Maka ambiguitas akibat asinkronitas data menjadi biasa. Karena tidak perlu koordinasi mendalam antar bagian dahulu sebelum memutuskan dan bertindak. Atau ambiguitas kata antar pernyataan yang berbeda juga tidak apa-apa. Karena pernyataan kedua diluncurkan setelah "lupa" pada isi pernyataan pertama. Toh kelak sebentar lagi masyarakat juga akan "lupa" karena akan tertimbun berita aktual lainnya.
Maka sampai kapan kita sebagai bangsa tidak belajar dari pengalaman ? Sampai kapan kita akan menyadari bahwa era digital akan membawa konsekuensi tuntutan transparansi ? Sampai kapan kita akan menyadari bahwa rakyat semakin cerdas dan tidak mudah dimanipulasi ? Sampai kapan kita menyadari bahwa mengangkat tuduhan terhadap merek tertentu justru boleh jadi berbalik mempopulerkan merek tersebut ? Sampai kapan kita akan menyadari bahwa semudah-mudahnya manusia Indonesia untuk lupa, tetap saja samudera big data digital menyimpan sekian juta fakta selamanya ?
Mari kita belajar. Mari kita kritis. Mari kita siaga.
Saat ini beras. Esok hari apa ?
Penulis adalah President Vanaya Coaching Institute dan Ketua Umum Sinergi Terapan Neurosains Indonesia (SINTESA)