Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Yenny Wahid dalam Minus dan Bonus Indonesia
Kedua masalah ini mempunyai kekuatan besar yang dapat menghancurkan atau sebaliknya bisa menumbuhkan.
Editor: Hasanudin Aco
Melihat pada kasus pilkada Jakarta, apa yang dikatakan Prof Din Syamsuddin terbukti benar.
Faktor dominan dalam konflik agama seringkali dipicu oleh unsur-unsur yang tak berkaitan dengan ajaran agama sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan politik, ekonomi, dan hukum yang selanjutnya di blow up menjadi konflik agama.
Faktor politik untuk memperebutkan posisi Gubernur Jakarta dan faktor ekonomi untuk memperebutkan APBD Jakarta yang hampir Rp 80 triliun/tahun serta faktor hukum yang menggusur rakyat kecil, dialihkan kepada konflik agama. Kemudian konflik agama ini memainkan peranan besar dalam memenangkan salah satu calon.
Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Desember 2017 mencatat sentimen agama terus meningkat. Hal itu berimbas pada pemilihan presiden (pilpres) 2019. Dua calon presiden terkuat, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, dinilai masyarakat sebagai sosok nasionalis. Sehingga dalam situasi terus menguatnya sentimen agama, maka menuntut kedua tokoh tersebut agar mencari pendamping dari kalangan Islam.
Menurut Peneliti LSI Taufik Febri, pilkada di DKI Jakarta membangunkan lagi kesadaran masyarakat atas perlunya tokoh Islam. Sejak Presiden ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meninggal, penduduk Muslim merasa tak ada tokoh sentral yang mewakili mereka untuk menyatukan umat Islam.
Padahal, dengan tokoh sentral itu diharapkan dapat mengarahkan umat Islam, setidaknya mengantisipasi menguatnya isu agama dalam pilpres 2019. Salah satu cara adalah memilih calon wakil presiden dari tokoh muda Islam sebagai pendamping calon presiden nasionalis.
Momentum inilah yang dimiliki Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau lebih dikenal Yenny Wahid. Putri kedua Gus Dur ini memiliki pendidikan yang mumpuni dan pengetahuan yang luas. Yenny tampak selalu mendampingi Gus Dur baik dalam kegiatan kenegaraan luar negeri maupun dalam aktifitas politik Gus Dur di dalam negeri.
Sejak kepergian Gus Dur, Yenny dikenal konsisten mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan Gus Dur dalam seluruh kegiatannya. Yang diimplementasikan dalam Wahid Institute maupun Wahid Foundation.
Hal ini membuat Yenny diterima oleh semua pihak, baik golongan agama, dari yang mayoritas sampai minoritas. Diterima oleh semua golongan ideologi politik, dari yang kiri hingga kanan.
Dan diterima oleh seluruh strata sosial masyarakat, dari yang paling bawah hingga paling atas. Sehingga kerinduan pemilih muslim terhadap Gus Dur dapat tergantikan dengan hadirnya Yenny Wahid.
Selain itu Indonesia saat ini sedang memasuki era bonus demografi. Yang saat ini sudah dimulai dan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada rentang tahun 2025-2030 ketika jumlah penduduk usia produktif berada pada angka 70 persen.
Era bonus demografi ditandai dengan dominasi jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) atas jumlah penduduk tidak produktif.
Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data BPS pada tahun 2016 diperkirakan sebanyak 258 juta. Menurut kelompok umur, jumlah penduduk usia produktif sekitar 174 juta atau 67 persen dari jumlah penduduk. Dan menurut jenis kelamin, terdiri atas laki-laki sebanyak 129,98 juta orang dan perempuan sebanyak 128,71 juta orang.
Yang paling menonjol dalam bonus demografi ini adalah jumlah penduduk wanita yang hampir menyamai jumlah penduduk pria.