Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Saatnya “Kawinkan” Regulasi Zakat dan Pajak

Bahkan, jika ditelisik secara detail terkait landasan perintah untuk menunaikan zakat, hampir selalu disandingkan dengan perintah shalat

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Saatnya “Kawinkan” Regulasi Zakat dan Pajak
Istimewa
Slamet - Direktur Penyaluran Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (NU CARE-LAZISNU), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 

Di sinilah harus ada solusi konkret untuk menyelaraskan antara zakat dan pajak dalam sebuah aturan yang mampu memperkuat satu sama lain, sehingga target perolehan yang ditetapkan tidak terlalu jauh dari potensi yang telah diperhitungkan.

“Kawinkan” Dua Regulasi; Mengapa Tidak?

Mungkinkah “mengawinkan” dua regulasi zakat dan pajak? Jawabannya tentu sangat mungkin. Contoh konkret atas pelaksanaan ini adalah Malaysia yang mengeluarkan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak.

Artinya, jika seseorang telah menunaikan zakatnya, maka kewajiban membayar pajak menjadi berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.

Berbeda dengan Indonesia, sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2011 Pasal 22 dan 23, posisi zakat masih menjadi pengurang penghasilan kena pajak.

Dengan kedudukan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak, otomatis jika seseorang ingin menunaikan zakat terlebih dahulu sebelum membayar pajak, maka hitungan nominalnya justru akan menjadi lebih besar.

Memang, secara umum jumlah penghasilan kena pajaknya menjadi berkurang karena telah terpotong oleh zakat. Namun, prosentase pajaknya tidak berkurang sama sekali.

Berita Rekomendasi

Dalam kalkulasi ekonomi, tentu saja regulasi yang semacam ini akan merugikan. Dalam hal ini, maka tidak bisa dipungkiri jika perolehan zakat di Indonesia masih jauh dari potensi yang ada.

Bahkan, dalam catatan BAZNAS, pada tahun 2016 dari jumlah potensi zakat sebesar Rp. 217 Triliyun, perolehannya hanya Rp. 5,12 Triliyun dan tahun 2017 menjadi Rp. 7 Triliyun.

Tentu saja angka tersebut adalah prosentase yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi zakat yang mencapai ratusan triliyun rupiah.

Oleh karena itu, sebelum Pemerintah berencana untuk menggodog Perpres Zakat 2,5 persen untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), akan lebih baik lagi jika pemerintah mendorong sinkronisasi regulasi antara zakat dan pajak.

Artinya, perlu adanya perubahan mendasar tentang UU Nomor 23 Tahun 2011, yakni pada klausul “zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak” menjadi “zakat sebagai pengurang pajak.”

Tentu saja, bagi umat Islam akan lebih terakomodir mengingat tidak adanya double payment antara zakat dan pajak.

Di samping itu, jika regulasi zakat dan pajak disatukan, maka semangat umat Islam untuk menunaikan zakat akan lebih besar dan tidak menutup kemungkinan akan sesuai dengan potensinya.

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas