Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Masa Depan Uni Eropa
Hantaman pertama adalah krisis utang di Yunani yang merembet ke Portugal, Spanyol, Siprus hingga Italia.
Editor: Hasanudin Aco
Pendukung imigrasi berdalih imigran bermanfaat dalam memperluas basis pajak dan mempertahankan upah murah.
Namun, yang dirasakan rakyat adalah, pajak yang dengan susah payah dibayarkan malah dihabiskan untuk menyejahterakan orang asing. Sebagai gambaran, sejak 2016 Polandia menjadi etnis terbesar asal orang yang tidak lahir tapi hidup di Inggris, “mengalahkan” India.
Keseimbangan Baru
Melemahnya legitimasi EU berdampak pada perimbangan kekuatan (balance of power) dunia. Sanksi terhadap Rusia, baik yang bersifat diplomatik maupun ekonomi tidak terlalu digubris Presiden Rusia Vladimir Putin.
Sanksi diplomatik salah satunya ditunjukkan dengan mengubah pertemuan G8 di Sochi menjadi G7 di Brussel. Sanksi ekonomi dijalankan dengan melarang impor barang dari Krimea dan Sevastopol serta membatasi akses perusahaan Rusia ke pasar modal Eropa.
Di sisi lain Orban menjadi orang kuat baru di Eropa, terutama karena negara-negara Eropa Timur eks-Soviet tidak merasakan manfaat sebesar yang digembar-gemborkan ketika mereka bergabung dengan kapitalisme global, khususnya EU.
Semangat borderless globalisasi yang salah satunya dicerminkan dengan berdirinya EU semakin memudar. Sebaliknya, pagar-pagar perbatasan kini mulai ditegakkan lagi, baik secara fisik walaupun melalui kampanye militer.
Melemahnya Eropa terjadi seiring dengan menguatnya China dan Asia pada umumnya. Amerika Serikat pun kini condong ke Kanan sejak Donald Trump masuk Gedung Putih. Dunia akan berada dalam suatu ketidakpastian dan kemurungan yang panjang beriringan dengan acaman perang yang bisa terjadi setiap saat.
Pertanyaannya, mampukah EU menghadapi merebaknya sentimen Kanan Jauh yang juga dikenal sebagai “Eurosceptic?” Krisis Eropa ini terjadi pada dimensi ideologis sekaligus geopolitik.
Di sisi ideologi, melemahnya EU menunjukkan tertekuknya neoliberalisme berhadapan dengan kepentingan nasional yang partikular.
Mengalirnya uang, barang, dan orang ternyata lebih menguntungkan perusahaan multinasional yang menerapkan global supply chain dan menghilangkan keunggulan komparatif negara. Negara hanya menjadi sekrup dalam mesin produksi raksasa tingkat dunia.
Dalam konteks hubungan internasional, sampai sekarang EU adalah organisasi kawasan yang paling besar dan kuat dibanding organisasi sejenis seperti ASEAN dan NAFTA. Sebagian menganggap EU adalah super-state karena memiliki parlemen, bank sentral, dan mata uang (sebagian).
Namun, EU sedang mengalami pelemahan pada inti eksistensinya, yaitu krisis semangat regionalisme. Karena itu, EU harus mencari relevansi baru dan menempatkan manfaat bagi negara-negara anggota di atas kepentingan aktor-aktor neoliberal.
Walaupun mungkin susah dibayangkan, tapi dunia tanpa EU adalah dunia yang makin terfragmentasi serta rentan terhadap konflik terbuka dan menyebar.
Anis Matta: Pengamat Politik Internasional