Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kecanduan Impor Pangan yang Mematikan
Sayangnya, uang itu justru mengalir ke petani negara lain karena impor yang ugal-ugalan,” kata ekonom senior Rizal Ramli, kepada wartawan
Editor: Rachmat Hidayat
Kalau pemerintah menghapus sistem kuota impor dan digantikan dengan sistem tarif, tentu praktik kartel dan mafia impor bisa ditekan sampai tahap minimal. Dengan begitu, petani dan petambak lokal terlindungi dari serbuan produk impor. Ujung-ujungnya harga produk pangan dapat lebih murah. Rakyat pun jadi happy.
Kebijakan impor seperti inilah yang diadukan Rizal Ramli dan para pengacaranya ke KPK. Pengaduan itu berbasis hasil laporan audit BPK tentang perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata niaga impor periode 2015 sampai semester pertama 2017. Hasil laporan audit itu menemukan sejumlah fakta hukum terkait dugaan tindak pidana korupsi.
Kecanduan impor
BPK menemukan sejumlah pelanggaran hukum oleh pihak-pihak terkait karena pelaksanaan impor tanpa melalui rekomendasi dari pihak terkait. Pelanggaran juga terjadi karena impor tidak sesuai persyaratan, tanpa berdasarkan rapat koordinasi atau tanpa analisis kebutuhan yang diperlukan.
“Kami melihat ada fenomena import addictive atau kecanduan impor yang dilakukan sejumlah oknum pejabat terkait. Orang-orang ini doyan impor, karena menguntungkan mereka dan mendapatkan manfaat dari perburuan rente. Modusnya, antara lain dengan menciptakan rekayasa kelangkaan atau artificial scarcity sehingga ada alasan untuk melakukan impor,” papar Rizal Ramli.
Menjadi petani di negeri ini memang memerlukan daya tahan dan kesabaran ekstra. Petani nyaris tidak mungkin kaya. Pokok pangkalnya, kebijakan produk pangan dari para pengelola negeri cenderung tidak berpihak kepada petani.
Bukan itu saja, para pengemban kebijakan di sektor ini juga terkesan sadis. Betapa tidak, mereka tetap saja ngotot melakukan impor beras, gula, garam, dan bawang justru menjelang dan saat panen raya. Padahal suara petani yang menolak impor itu sangat nyaring.
Ditambah dengan sikap serupa dari banyak kepala daerah, teriakan itu sudah sangat gemuruh. Tapi entah bagaimana dan apa sebabnya, Pemerintah bagai buta-tuli. Tetap ngeyel dengan rencana impor beras tadi.
“Beras saya impor. Enggak usah (perdebatkan), karena itu diskresi saya,” kata Mendag Enggartiasto Lukito di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat silam.
Pernyataan Enggar ini jelas menunjukkan sikap degil dan arogan penguasa. Bagaimana mungkin seorang menteri bisa berkata demikian untuk keputusannya yang menyangkut hajat hidup begitu banyak orang?
Tidakkah dia menyadari, bahwa kecanduan impor yang dideritanya telah kian memiskinkan petani dan menyusahkan rakyat Indonesia?
Lebih seru lagi, keputusan Mendag yang ngotot impor beras itu ternyata sama sekali tidak didukung data akurat. Pada Raker dengan Komisi VI DPR, Kamis (18.01) pekan silam, dia mengaku belum mengantongi data beras secara lengkap.
“Masih banyak gudang yang belum melapor,” ujarnya. Sungguh ironi dan tragedi besar. Ngotot mengimpor beras menjelang panen raya ternyata hanya berdasarkan dugaan-dugaan.
Kisruh impor pangan sejatinya bisa diatasi, bahkan dicegah, kalau saja Presiden Jokowi mengambil sikap tegas. Dia harus menentukan di mana posisinya. Bersama rakyat dan petani Indonesia, atau terus menutup mata (dan bermain mesra?) Dengan para pejabat dan pengusaha penikmat rente?