Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
''Melihat'' Aceh Jangan dari Tugu Monas di Jakarta
Pada masa awal kemerdekaan, warga Aceh mati-matian membeli obligasi yang ditawarkan Pemerintah Indonesia dengan menjual apa yang dipunyai.
Editor: Malvyandie Haryadi
Amir Faisal Nek Muhammad
Founder The Atjeh Connection
TRIBUNNERS - Lain ladang, lain belalang. Lain lubuk, lain ikannya. Peribahasa ini saya rasa paling tepat untuk memahami Aceh. Daerah dengan jutaan potensi alam dan sumberdaya manusia. Negeri unik dengan penerapan Syariat Islam.
Aceh memang unik. Semasa kolonial Belanda, istilah Aceh Pungo atau Gekke Atjeh atau Atjeh Moorden atau Aceh Gila begitu populer.
Ketika itu, secara sporadis, tentara Belanda, tidak peduli prajurit atau perwira, menjadi sasaran kenekatan masyarakat Aceh. Aksi penikaman, penyerangan, dan pembunuhan berspirit jihad fi sabilillah berbuah Perang Aceh yang sangat lama, 1873-1942.
Anton Stolwijk, penulis buku berjudul Atjeh, menyebut Perang Aceh sebagai 'titik terendah' dalam sejarah kolonial Belanda.
Pada masa awal kemerdekaan, warga Aceh mati-matian membeli obligasi yang ditawarkan Pemerintah Indonesia dengan menjual apa yang dipunyai.
Baca: Panitia Reuni 212 Targetkan 4 Juta Peserta
Meski dalam keadaan serba-kurang, masyarakat Aceh menghibahkan dua pesawat terbang kepada pemerintah pusat, hasil penjualan perhiasan para perempuan Aceh dan lain-lain. Dulu Aceh adalah modal bagi Indonesia. Sekarang menjadi model bagi Indonesia dengan tercetusnya Bappenas, MUI, dan sebagainya.
Memasuki Orde Lama, Aceh, oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) sebagai bagian dari NII pimpinan Imam Besar Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Proklamasi itu dinyatakan pada 20 September 1953.
Beberapa alasan dibentuk DI/TII Aceh adalah kekecewaan tokoh Aceh atas dileburnya Aceh ke Provinsi Sumatera Utara, kekhawatiran kembalinya kekuasaan ulee balang, serta keinginan dari masyarakat Aceh untuk menetapkan hukum 'syariah'.
Ketika Orde Baru berkuasa, aktivitas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pimpinan Hasan di Tiro berhadapan dengan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM).
Hingga pada 7 Agustus 1998, Panglima ABRI, Jenderal TNI Wiranto mengumumkan pencabutan status DOM di Aceh yang disampaikan di Masjid Jamik Lhokseumawe.
Pada era reformasi, status Darurat Militer di Aceh diberlakukan pada 19 Mei 2003.
Seusai gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh tahun 2004, GAM dan Pemerintah Republik Indonesia lantas berunding di Vantaa, Helsinki, Finlandia yang dimulai pada akhir Januari 2005.
Kesepakatan damai tercapai pada 15 Agustus 2005. Ini dialog perdamaian tercepat di dunia yang ditandatangani oleh kedua kubu. Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla sangat berperan penting.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.