Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tidak Dianggap Persoalan Hidup dan Mati Jadi Sebab Pendidikan di Indonesia Terus Terpuruk
Pendidikan di Indonesia terus terpuruk karena tidak dianggap sebagai permasalahan hidup mati.
Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, Hafidz Abbas menyebutkan, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk.
Idealnya, kata Hafidz, distribusi tanah mengikuti formula 1 juta untuk orang kaya, 2 juta untuk kelas menengah, dan 3 juta untuk masyarakat miskin.
Seraya menjawab pertanyaan Ganda Kurniawan peserta lomba artikel pendidikan dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Hafidz Abbas menegaskan bila Indonesia mengalami krisis legislasi kepemimpinan untuk mencegah kesenjangan ekonomi.
“Semestinya pemimpin Indonesia melindungi masyarakat dengan legislasi, bukan dibiarkan berkompetisi dalam hukum survival of the fittes, yang kuat akan menang, yang lemah akan kalah,” kata Hafidz.
Dampak Revolusi Industri 4.0.
“Banyak orang bicara Revolusi Industri 4.0, tapi sedikit sekali yang berpikir dampaknya,” kata Eka T.P. Simanjuntak, Praktisi dan Pengamat Pendidikan dari PT Wacana Tata Akademika.
Dampaknya bagi mereka yang saat ini baru masuk kuliah akuntansi, lanjut Eka, begitu lulus akan menghadapi lapangan kerja berkurang.
“Pekerjaan yang menggunakan fisik akan hilang. Jadi tidak ada yang bisa menjawab pekerjaan apa yang akan muncul pada 2030,” kata Eka Simanjuntak menjelaskan banyaknya lapangan kerja yang hilang karena dampak gelombang Revolusi Industri 4.0.
Jumlah pekerjaan yang hilang kian meluas bakal terus terjadi akibat terjangan gelombang Revolusi 4.0. Munculnya permasalahan itu akan semakin diperparah di masa mendatang, tambah Eka, karena diterima tidaknya seorang pelamar kerja tidak lagi ditentukan oleh manusia.
“Nanti diterima tidaknya orang yang melamar kerja keputusannya ditentukan oleh mesin algoritma,” kata Eka.
Hal ini berarti, rekomendasi teman, kedekatan, atau kemampuan lobi seseorang, lanjut Eka, tidak akan berpengaruh. Sebab keputusan diterima tidaknya pelamar kerja ditentukan oleh mesin algoritma.
Lain halnya dengan Prof Dr Nana Supriatna, M.Ed, Guru Besar UPI tersebut menawarkan pentingnya penerapan pendidikan konsumen hijau untuk mengurangi dampak terjangan gelombang revolusi industri 4.0.
“Sebagai bangsa memang kita sudah merdeka, tapi sebagai konsumen kita belum merdeka. Buktinya masyarakat kita hanya mengikuti dan mengonsumsi semua produk industri multinasional tanpa memikirkan betapa produk-produk tersebut selain menguras uang rakyat Indonesia untuk dibawa ke negeri asal Multi National Corporation, juga meninggalkan 7 juta ton sampah plastik, dan 3,5 juta ton dari jumlah itu dibuang ke sungai,” kata Nana Supriatna.
Jadi tujuan dari pendidikan konsumen hijau itu, kata Nana, untuk membebaskan masyarakat sebagai konsumen dari pengendalian pencitraan atau rekayasa kebutuhan produk oleh produsen.