Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tidak Dianggap Persoalan Hidup dan Mati Jadi Sebab Pendidikan di Indonesia Terus Terpuruk
Pendidikan di Indonesia terus terpuruk karena tidak dianggap sebagai permasalahan hidup mati.
Siaran pers UNJ
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - “Pendidikan di Indonesia terus terpuruk karena tidak dianggap sebagai permasalahan hidup mati.”
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prof Dr Hafidz Abbas dalam seminar pendidikan nasional bertema, menggagas sistem pendidikan nasional.
Selain menghadirkan Hafidz Abbas, dalam seminar hari ke-2 itu, Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (UNJ) selaku penyelenggara juga menghadirkan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, Prof Dr Nana Supriatna, praktisi dan pengamat pendidikan dari PT Wacana Tata Akademika, Eka TP Simanjuntak, dan Staf Ahli Menteri Pendidikan & Kebudayaan bidang Hubungan Pusat & Daerah James Modouw.
IKA UNJ mengundang keempat pembicara untuk membahas sejumlah permasalahan pendidikan Indonesia yang kronis, serta permasalahan baru yang muncul sebagai dampak dari gelombang revolusi industri 4.0.
“Globalisasi telah memasuki revolusi industri berbasis tekonologi informasi generasi 4.0. Awalnya globalisasi saja sudah menjadi tantangan yang cukup berat untuk semua negara-negara berkembang, meski tak jarang negara maju pun menerima dampak negatifnya. Revolusi industri 4.0., turut masuk daftar listing tantangan baru, khususnya bagi dunia pendidikan. Revolusi industri generasi 4.0 itu sudah mulai menetrasi berbagai aspek kehidupan, dan tatanan sosial. Dunia pendidikan nasional tidak memiliki pilihan selain merespon tantangan tersebut. Persoalan dunia pendidikan yang sudah kronis, maupun yang muncul sebagai ekses dari terjangan gelombang revolusi industri 4.0 sudah semestinya dipecahkan, “ Kata Ketua Umum IKA UNJ Juri Ardiantoro.
Adapun aneka persoalan tersebut, lanjut Juri Ardiantoro, di antaranya permasalahan kompetensi guru, akses dan pemerataan pendidikan, kompetensi siswa, dan bonus demografi, revitalisasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), standar kurikulum, format pendidikan untuk menjawab tantangan revolusi industri 4.0, dan banyaknya pengangguran dari lulusan SMK karena tidak diterima oleh dunia industri.
Dalam Seminar hari kedua yang dimoderatori oleh Abdullah Taruna, Prof Dr Hafidz Abbas yang mengawali presentasi mencontohkan kesuksesan Malaysia dalam memajukan pendidikan mereka.
“Malaysia sukses memperbaiki sistem pendidikannya karena bagi Malaysia education adalah persoalan hidup mati. Lalu bagimana dengan Indonesia? Pendidikan di Indonesia terus terpuruk karena tidak dianggap sebagai permasalahan hidup mati,” ungkap Hafidz.
Mantan Dirjend HAM di Departeman Hukum & HAM RI 2001-2006 itu kemudian menunjukkan sejumlah indikator ketidakseriusan penanganan pendidikan di Indonesia.
Sejak Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan pemberlakuan anggaran pendidikan sebesar 20 persen APBN, banyak pihak berharap kualitas lulusan Indonesia meningkat tajam, setidaknya bila dibandingkan negara-negara Asia Tenggara.
“Dengan pemberlakuan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN ternyata pendidikan di Indonesia masih terjelek di dunia,” ungkap Guru Besar UNJ, Hafidz Abbas.
Pernyataan Hafidz Abbas bukan tanpa dasar. Hafidz merujuk buku Bank Dunia berjudul Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia (Belanja Lebih Banyak atau Belanja Lebih Baik: Memperbaiki Pembiayaan Pendidikan di Indonesia).
Hasil Penelitian yang diluncurkan pada 14 Maret 2013 itu meneliti dampak pemberlakuan anggaran sejak sepuluh tahun terakhir (2002 sampai dengan 2012).