Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tidak Dianggap Persoalan Hidup dan Mati Jadi Sebab Pendidikan di Indonesia Terus Terpuruk
Pendidikan di Indonesia terus terpuruk karena tidak dianggap sebagai permasalahan hidup mati.
Bank Dunia menyimpulkan, bahwa 20 persen APBN yang dibelanjakan untuk sektor pendidikan belum membuahkan capaian pendidikan yang diharapkan.
Hingga 5 tahun sejak laporan itu diterbitkan, kualitas output pendidikan Indonesia masih belum beranjak naik.
Indikator SDM Indonesia yang memprihatinkan kembali dirilis pada 2018. Ranking Indonesia dalam penilaian Programme for International Student Assesment (PISA), menempatkan kualitas SDM Indonesia di urutan 62 dari 69 negara.
Dan Indonesia peringkatnya masih di bawah Vietnam_negara yang baru belakangan memberlakukan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN. Laporan keterpurukan itu sama buruknya dengan indeks modal manusia yang dirilis World Bank pada tahun 2018.
Peringkat Human Capital Indonesia dibanding negara-negara Asia Tenggara berada di urutan bontot. Singapura unggul dengan Vietnam dengan skor (0,67), Malaysia berada di bawahnya (0,62), Thailand (0,6), dan Indonesia mendapat skor 0,53. Index Modal Manusia merupakan indikator untuk mengukur SDM di suatu negara dilihat dari pengetahuan, ketrampilan, dan kesehatan yang dianggap menjadi faktor penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.
Berdasarkan laporan tahun 2013 itu, Bank Dunia kemudian merekomendasikan agar anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN itu dibelanjakan secara tepat dan efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan capaian belajar.
Jadi bukan sebaliknya hanya mengeluarkan uang secara besar-besaran, tapi tidak tepat sasaran. Salah satunya tercermin dari mubazirnya rasio guru dengan siswa.
“Rasio guru di Indonesia itu 1 berbanding 15 siswa, Jepang yang sukses rasio pendidikannya 1 berbanding 29, itu mendekati rasio ideal yaitu 1 berbanding 30,“ terang Hafidz.
Persoalan guru, lanjut Hafidz, adalah masalah pengadaan, penempatan, pengangkatan dan pembinaan.
“Dampak anggaran 20 persen itu hanya mengurangi beban kerja para guru yang rangkap,” ungkap Hafidz.
Berdasarkan hal itu, Hafidz Abbas menandaskan penyebab terpuruknya kualitas pendidikan nasional.
“Berbagai perbaikan telah dilakukan, tapi keterpurukan itu menunjukkan semua langkah perbaikan pendidikan itu dilakukan tanpa kapasitas memadai,” kata Hafidz Abbas
Dengan memahami bahwa peningkatan ekonomi dapat mempengaruhi capaian pendidikan masing-masing orang, atau sebaliknya, capaian kualitas pendidikan dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan, maka Hafidz Abbas menyebut kesenjangan ekonomi masyarakat Indonesia merupakan persoalan.
“Bagaimana bisa ada pengusaha memiliki tanah seluas 5 juta hektar,” ungkap Hafidz.
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)